Rabu, 27 Maret 2013

Ad-Dajjal Mengaku Sebagai Rabb



"Ad-Dajjal Mengaku Sebagai Rabb"
Oleh: 1. Ihsan Tandjung
2. Fazzan (Ed.)


“Ternyata kita yang hidup di era modern dewasa ini sedang berada di babak keempat dari lima babak perjalanan sejarah tersebut. Selama babak pertama, kedua maupun ketiga Ad-Dajjal belum Allah taqdirkan keluar ke tengah-tengah ummat manusia untuk menebar fitnah dahsyatnya. Sementara itu, di babak keempat yang masih berlangsung ini, ummat Islam merasakan sangat banyaknya fitnah yang kian menyebar dan kian memuncak.’’

Hidup di era penuh fitnah yang kita jalani dewasa ini menuntut kewaspadaan dan antisipasi menghadapi puncak fitnah, yaitu keluarnya Al-Masih Ad-Dajjal. Semua Nabi utusan Allah memperingatkan kaumnya masing-masing akan munculnya fitnah paling dahsyat sepanjang zaman. Tetapi hanya Nabi Akhir Zaman, yakni Muhammad SAW yang memberikan gambaran paling rinci mengenai Ad-Dajjal. Hal ini wajar karena ummatnya-lah yang akan Allah taqdirkan berhadapan langsung dengan puncak fitnah tersebut.
إِنَّهُ لَمْ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ مُنْذُ ذَرَأَ اللَّهُ ذُرِّيَّةَ آدَمَ أَعْظَمَ مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ وَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَبْعَثْ نَبِيًّا إِلَّا حَذَّرَ أُمَّتَهُ الدَّجَّالَ وَأَنَا آخِرُ الْأَنْبِيَاءِ وَأَنْتُمْ آخِرُ الْأُمَمِ وَهُوَ خَارِجٌ فِيكُمْ لَا مَحَالَةَ.
“Rasulullah SAW pernah berkhutbah: Sungguh, semenjak Allah menciptakan anak cucu Adam, tidak ada fitnah yang lebih dahsyat dari fitnah Ad-Dajjal, dan tidak ada satu Nabi pun yang diutus oleh Allah melainkan memperingatkan umatnya mengenai fitnah Ad-Dajjal. Sedangkan Aku adalah Nabi yang terakhir dan kamu juga ummat yang terakhir, maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Ad-Dajjal akan keluar di tengah-tengah kalian. (HR. Ibnu Majah–4067).
Dan telah terbukti bahwa sejak manusia dihadirkan ke muka bumi hingga hari ini Ad-Dajjal belum keluar. Tetapi Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa kita sebagai ummat terakhir alias ummat Akhir Zaman pasti akan berhadapan langsung dengan Ad-Dajjal. Nabi bersabda: “Sedangkan Aku adalah Nabi yang terakhir dan kamu juga ummat yang terakhir, maka tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Ad-Dajjal akan keluar di tengah-tengah kalian.”

Dalam hadits lainnya Nabi Muhammad SAW menjelaskan bahwa ummat terakhir ini akan mengalami lima babak perjalanan sejarahnya. Dan ternyata kita yang hidup di era modern dewasa ini sedang berada di babak keempat dari lima babak perjalanan sejarah tersebut. Selama babak pertama, kedua maupun ketiga Ad-Dajjal belum Allah taqdirkan keluar ke tengah-tengah ummat manusia untuk menebar fitnah dahsyatnya. Sementara itu, di babak keempat yang masih berlangsung ini, ummat Islam merasakan sangat banyaknya fitnah yang kian menyebar dan kian memuncak.

Bayangkan, selama tigabelas abad perjalanan ummat Islam dunia merasakan rahmatdienullah Al-Islam sebagai aturan yang diterapkan oleh para pemimpin Islam, baik di babak pertama, kedua maupun ketiga. Kita tidak menutup mata adanya pasang-surut kebaikan dan keburukan sosok-sosok pemimpin Islam di masa-masa itu, terutama selama babak ketiga yaitu babak kepemimpinan Mulkan ‘Aadhdhan (raja-raja yang menggigit). Tetapi secara umum kebaikan ajaran Islam masih dinikmati masyarakat luas karena para pemimpin di masa itu masih berusaha memenuhi kriteria dirinya sebagai ulil amri minkum (para pemimpin di antara orang-orang beriman) sebab mereka masih memenuhi keharusan yang Allah sebutkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا.
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS An-Nisa’: 59).

Baik itu babak kenabian, babak khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah (khulafa ar-rasyidin) maupun babak mulkan ‘aadhdhon, para pemimpin Islam masih berusaha untuk setia memenuhi kriteria “… jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya).” Berbagai persoalan kehidupan bermasyarakat dan bernegara diselesaikan berdasarkan dan merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kehidupan bermasyarakat dan bernegara dilandasi oleh diinullah Al-Islam.

Namun begitu memasuki babak keempat, yang ditandai dengan runtuhnya secara formal tatanan bermasyarakat dan bernegara berlandaskan Islam (baca: al-khilafah al-Islamiyyah), maka Allah taqdirkan terjadinya perpindahan kepemimpinan dunia dari tangan para pemimpin Islam kepada masyarakat di luar ummat Islam. Allah menguji ummat Islam dengan diserahkannya kepemimpinan dunia kepada kaum kafir barat, Eropa kemudian Amerika, yang tidak lain adalah kaum yahudi dan nasrani. Akhirnya dunia tidak lagi menikmati rahmat diterapkannya dienullah Al-Islam. Dunia mulai mengalami ketidakjelasan tuntunan, arah dan tujuan. Dunia tidak di-manage oleh para pemimpin yang memberlakukan Islam sebagai solusi menghadapi berbagai persoalan hidup dan kehidupan. Kaum yahudi dan nasrani jelas tidak menjadikan hidayah/petunjuk Allah sebagai tuntunan di dalam memimpin dunia modern. Bagaimana mereka dapat menuntun ummat manusia ke jalan yang benar jika mereka sendiri tersesat?

Sejak limabelas abad yang lalu Nabi SAW telah memprediksi bahwa Allah bakal taqdirkan kaum Yahudi dan Nasrani memegang kepemimpinan global dunia sehingga sebagian ummat Islam bakal mengekor kepada mereka dalam segenap aspek kehidupan sampai masuk ke lubang biawak alias kebinasaan!.
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ.
“Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekalipun mereka masuk ke dalam lubang biawak, kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. Muslim).

Nabi Muhammad SAW menyebut babak keempat perjalanan sejarah ummat Islam sebagai babak kepemimpinan Mulkan Jabbriyyan (para raja/penguasa yang memaksakan kehendaknya). Dan kita saat ini jelas membukitkan kebenaran prediksi Nabi tersebut.! Para pemimpin dunia modern –baik skala lokal apalagi global- memimpin manusia berlandaskan kehendaknya sendiri, bukan kehendak Allah dan Rasul-Nya. Ada yang memaksakan kehendaknya secara individual (para diktator) dan ada juga yang memaksakan kehendaknya secara kolektif (kerjasama badan eksekutif, legislatif dan yudikatif). Bagaimanapun bentuknya, semua tidak memimpin berdasarkan kehendak/petunjuk Allah dan Rasul-Nya.! Inilah babak paling kelam dalam sejarah ummat Islam..! Pantas bilamana ummat Islam yang faham dan cinta Islam sangat merasakan keprihatinan yang begitu mendalam hidup di era penuh fitnah ini.
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّا فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ.
“Babak (1) kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya, setelah itu datang babak (2) Kekhalifahan mengikuti pola (Manhaj) kenabian, selama beberapa masa hingga Allah mengangkatnya, kemudian datang babak (3) Raja-raja yang menggigit selama beberapa masa, selanjutnya datang babak (4) Para penguasa  yang memaksakan kehendak (diktator) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah, setelah itu akan terulang kembali  babak (5) Kekhalifahan mengikuti pola (Manhaj) kenabian. Kemudian Rasul SAW terdiam.” (HR. Ahmad).

Mengingat bahwa ini merupakan babak paling kelam dalam sejarah ummat Islam, maka sudah sepantasnya kita mempersiapkan diri menghadapi keluarnya puncak fitnah di babak ini. Sungguh kita patut menduga bahwa keluarnya Ad-Dajjal untuk menebar fitnah bakal berlangsung di babak keempat ini, babak dimana kita sedang hidup dewasa ini.!

Dan tahukah kita apa yang akan dinyatakan oleh Ad-Dajjal saat ia keluar ke tengah ummat manusia? Fitnah besar apakah yang akan ditampilkan olehnya? Nabi Muhammad SAW menjelaskan dalam hadits berikut:
يَا عِبَادَ اللَّهِ فَاثْبُتُوا فَإِنِّي سَأَصِفُهُ لَكُمْ صِفَةً لَمْ يَصِفْهَا إِيَّاهُ نَبِيٌّ قَبْلِي يَقُولُ أَنَا رَبُّكُمْ وَلَا تَرَوْنَ رَبَّكُمْ حَتَّى تَمُوتُو.
“Wahai hamba Allah, wahai para manusia, teguhkanlah diri kalian, karena aku akan menerangkan sifat-sifatnya (Ad-Dajjal) yang belum pernah diterangkan oleh seorang Nabi pun sebelumku. Ia (Ad-Dajjal) akan berkata: ‘Aku adalah Rabb kalian.’ Sedangkan kalian tidak akan bisa melihat Allah kecuali setelah kalian meninggal.” (HR. Ibnu Majah–4067).

Inilah fitnah besar yang akan terjadi saat Ad-Dajjal keluar. Ia akan mengaku dirinya sebagai Rabb.! Persis sebagaimana dahulu kala Fir’aun meng-klaim dirinya sebagai Rabb di hadapan masyarakat Mesir yang dipimpinnya.
فَحَشَرَ فَنَادَى فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الأعْلَى.
“Maka dia (Fir’aun) mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya. (Seraya) berkata: “Akulah Rabb-mu yang paling tinggi”. (QS An-Naazi’at: 23-24).

Keluarnya fitnah Al-Masih Ad-Dajjal menjadi seperti pengulangan sejarah Fir’aun. Sungguh Ad-Dajjal dan Fir’aun memang memiliki kesamaan yaitu dalam hal kedua-duanya sama-sama merupakan penguasa zalim alias thaghut. Bahkan semua thaghut sepanjang zaman pada hakikatnya memiliki kesombongan yang mirip antara satu sama lainnya. Hanya saja ada yang sampai ke derajat mengaku secara terbuka bahwa dirinya adalah Rabb tandingan Allah dan ada yang tidak menyatakannya secara lisan, tetapi sikap dan perilakunya kurang lebih sama, yaitu bertingkah seolah dirinya merupakan tandingan bagi Allah. Thaghut menuntut masyarakat untuk mentaati dirinya sebagaimana manusia semestinya mentaati Allah. Thaghut menuntut dirinya dicintai sebagaimana manusia semestinya mencintai Allah. Tetapi claim diri sebagai Rabb yang bakal dilakukan oleh puncak thaghut–yakni Ad-Dajjal- akan sangat berbeda dari yang pernah dilakukan oleh thaghut manapun sepanjang zaman. Mengapa? Karena Ad-Dajjal tidak saja bermodalkan kesombongan dan kekuasaan, tetapi ia bakal diizinkan Allah menampilkan sihir tingkat tinggi untuk meyakinkan manusia bahwa dirinya memang benar-benar Rabb tandingan Allah SWT.!! Dajjal bakal tampil dengan aneka keluar-biasaan alias hal-hal supra-natural yang menyebabkan banyak manusia menjadi sulit mengingkari bahwa Dajjal merupakan Rabb tandingan Allah. Perhatikanlah hadits Nabi Muhammad SAW di bawah ini:
يَا عِبَادَ اللَّهِ فَاثْبُتُوا فَإِنِّي سَأَصِفُهُ لَكُمْ صِفَةً لَمْ يَصِفْهَا إِيَّاهُ  نَبِيٌّ قَبْلِي يَقُولُ أَنَا رَبُّكُمْ وَلَا تَرَوْنَ رَبَّكُمْ حَتَّى تَمُوتُوا
“Wahai hamba Allah, wahai para manusia, teguhkanlah diri kalian, karena aku akan menerangkan sifat-sifatnya (Ad-Dajjal) yang belum pernah diterangkan oleh seorang Nabi pun sebelumku. Ia  akan berkata: ‘Aku adalah Rabb kalian.’ Sedangkan kalian tidak akan bisa melihat Allah kecuali setelah kalian meninggal. (HR. Ibnu Majah–4067).

Nabi Muhammad SAW menerangkan kepada ummat Islam sifat-sifat Ad-Dajjal yang belum pernah diterangkan oleh seorang Nabipun sebelum beliau. Dan ketika Ad-Dajjal meng-claim dirinya adalah Rabb, Nabi memberikan satu kunci penting kepada kita agar tidak kena tipuan Dajjal. Nabi mengingatkan bahwa manusia tidak akan bisa melihat atau memandang Allah selagi masih hidup di dunia fana ini. Nanti, setelah meninggal dunia baru Allah izinkan manusia melihat Rabb semesta alam, yaitu Allah SWT.
أَنَّ أُنَاسًا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ نَرَى رَبَّنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَمْ هَلْ تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ الشَّمْسِ بِالظَّهِيرَةِ ضَوْءٌ لَيْسَ فِيهَا سَحَابٌ قَالُوا لَا قَالَ وَهَلْ تُضَارُّونَ فِي رُؤْيَةِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ ضَوْءٌ لَيْسَ فِيهَا سَحَابٌ قَالُوا لَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا تُضَارُونَ فِي رُؤْيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَّا كَمَا تُضَارُونَ فِي رُؤْيَةِ أَحَدِهِمَا.
Sejumlah orang pada masa Rasulullah SAW bertanya; ‘Ya Rasulullah, apakah kami dapat melihat Allah pada hari kiamat? Nabi SAW menjawab. ‘Iya, ‘’apakah kalian merasa kesulitan melihat matahari yang terang benderang serta tidak ada mendung?” Mereka berkata: “Tidak wahai Rasulullah!” lalu RasulullahSAW bersabda: “Apakah kalian merasa kesulitan melihat rembulan pada malam purnama yang tidak ada mendung dibawahnya?”, mereka berkata; “Tidak, wahai Rasulullah!” Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya kalian akan melihat-Nya kelak pada hari kiamat tanpa merasa kesulitan sebagaimana kalian melihat salah satu dari keduanya (matahari dan bulan).” (HR. Bukhari).

Tetapi masalahnya bukan sekedar mengaku sebagai Rabb. Ad-Dajjal kelak akan menampilkan berbagai atraksi supra-natural yang menyihir banyak manusia sehingga menjadi yakin bahwa Dajjal memang benar-benar Rabb tandingan Allah SWT. Selanjutnya Nabi Muhammad SAW bersabda:
وَإِنَّ مِنْ فِتْنَتِهِ أَنْ يَقُولَ لِأَعْرَابِيٍّ أَرَأَيْتَ إِنْ بَعَثْتُ لَكَ أَبَاكَ وَأُمَّكَ أَتَشْهَدُ أَنِّي رَبُّكَ فَيَقُولُ نَعَمْ فَيَتَمَثَّلُ لَهُ شَيْطَانَانِ فِي صُورَةِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَيَقُولَانِ يَا بُنَيَّ اتَّبِعْهُ فَإِنَّهُ رَبُّكَ.
“Dan di antara fitnah (Ad-Dajjal) juga adalah, ia akan berkata kepada seorang Arab, ‘Pikirkanlah olehmu, sekiranya aku dapat membangkitkan ayah dan ibumu yang telah mati, apakah kamu akan bersaksi bahwa aku adalah Rabb-mu? ‘ Laki-laki Arab tersebut menjawab, ‘Iya.’ Kemudian muncullah setan yang menjelma di hadapannya dalam bentuk ayah dan ibunya, maka keduanya berkata, ‘Wahai anakku, ikutilah ia (Ad-Dajjal), sesungguhnya dia adalah Rabb-mu.’ (HR. Ibnu Majah–4067).

Subhanallah.! Bayangkan, Allah bakal mengizinkan Dajjal meyakinkan seorang Arab bahwa dirinya benar-benar Rabb. Dan si Arab itu bakal mempercayainya karena Dajjal (seolah-olah) berhasil menghidupkan kembali kedua orang-tua si Arab tersebut yang sudah meninggal dunia. Kemudian kedua orang-tuanya itu bersaksi bahwa Ad-Dajjal memang Rabb si orang Arab itu. Kedua orang-tuanya berkata: ‘Wahai anakku, ikutilah ia (Ad-Dajjal), sesungguhnya dia adalah Rabb-mu.’ Na’udzubillahi min dzaalik.!

Bukan hanya itu keluarbiasaan atau sihir Ad-Dajjal. Ia bahkan diizinkan menyembuhkan berbagai penyakit yang diidap manusia. Di antaranya menyembuhkan penyakit buta serta orang berkulit belang.
وَإِنَّهُ يُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَيُحْيِي الْمَوْتَى وَيَقُولُ لِلنَّاسِ أَنَا رَبُّكُم.ْ
Nabiyullah SAW  bersabda: “Sesungguhnya Ia (Ad-Dajjal) dapat menyembuhkan orang buta, orang berkulit belang, menghidupkan orang mati.” (HR Ahmad–19292).

Semua hal di atas jelas berpotensi menyebabkan manusia menjadi takjub dan mudah mempercayai bahwa Ad-Dajjal adalah Rabb selain Alah SWT . Apalagi mereka yang merasakan manfaat perbuatan Ad-Dajjal. Orang yang tadinya buta kemudian menjadi dapat melihat tentunya akan sangat berterimakasih kepada Ad-Dajjal. Orang yang tadinya berpenyakit kulit belang kemudian menjadi sembuh tentu akan sangat berterimakasih kepada Dajjal. Orang yang menyaksikan bahwa Dajjal sanggup menghidupkan orang yang sudah mati tentunya dengan mudah menjadi yakin bahwa Dajjal-lah Rabb yang menghidupkan dan mematikan makhluk.! Laa haula wa laa quwwata illa billaah.!

Selanjutnya Nabi Muhammad SAW menerangkan bahwa barangsiapa takjub menghadapi berbagai perkara supra-natural yang ditampilkan oleh Ad-Dajjal, maka ia bakal segera terfitnah oleh Dajjal. Sebab saat ia sedang takjub itulah Ad-Dajjal segera melontarkan pernyataan batil yang menjadi fitnah terbesar, yaitu: “Akulah Rabb kalian.” Dan barangsiapa membenarkan pengakuan batil Dajjal itu dengan kesaksian: “Engkau adalah Rabb-ku,” maka ia telah terkena fitnah Ad-Dajjal. Sebab manusia itu berarti telah melakukan puncak dosa yang tak bakal terampuni yaitu syirik (mempersekutukan) Allah...’’
وَيَقُولُ لِلنَّاسِ أَنَا رَبُّكُمْ فَمَنْ قَالَ أَنْتَ رَبِّي فَقَدْ فُتِنَ.
“… dan (Ad-Dajjal) berkata kepada manusia, “Akulah Rabb kalian.” Barangsiapa berkata, “Engkau adalah Rabb-ku,” maka ia telah terkena fitnahnya.” (HR. Ahmad–19292).

Sedangkan dosa syirik menyebabkan si pelaku tidak bakal terampuni jika dia tidak bertaubat dari dosa syirik tersebut sebelum ajal menjemput. Semua dosa selain syirik masih mungkin diampuni Allah. Tetapi tidak demikian halnya dengan dosa syirik.
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ  لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An-Nisa’: 48).

Adapun terhadap mukmin sejati Ad-Dajjal tidak bakal berhasil memfitnahnya. Sebab seorang mukmin membekali dirinya dengan kemantapan iman-tauhid bahkan sejak Ad-Dajjal belum keluar.
وَيَقُولُ لِلنَّاسِ أَنَا رَبُّكُمْ فَمَنْ قَالَ أَنْتَ رَبِّي فَقَدْ فُتِنَ وَمَنْ قَالَ رَبِّيَ اللَّهُ حَتَّى يَمُوتَ فَقَدْ عُصِمَ مِنْ فِتْنَتِهِ وَلَا فِتْنَةَ بَعْدَهُ عَلَيْهِ وَلَا عَذَاب.
“… dan (Ad-Dajjal) berkata kepada manusia, “Akulah Rabb kalian.” Barangsiapa berkata, “Engkau adalah Rabb-ku,” maka ia telah terkena fitnahnya. Dan siapa yang mengatakan: “Allah-lah Rabb-ku,” hingga ajal menjemputnya, maka ia telah terlindungi dari fitnah Dajjal, dan tidak ada lagi fitnah maupun siksa (Dajjal) terhadap dirinya.” (HR. Ahmad–19292).

Keadaan yang digambarkan hadits di atas sungguh sangat mirip dengan beberapa peristiwa yang terjadi sekarang. Para pengikut atau fans Lady Gaga sedemikian tersihirnya oleh tipuan Ratu Setan itu sehingga mem-publish lewat twitter pernyataan Gaga Akbar.! Na’udzubillahi min dzaalika. Suatu pernyataan yang bagi seorang mukmin sejati hanya berhak ditujukan kepada Allah SWT yakni Allahu Akbar.

Para pembela thaghut syiah Bashar Asad di Suriah sedemikian tersihir oleh pesonanya sehingga memaksa rakyat muslim melafalkan kesaksian batil yaitu Laa ilaaha illa Bashar (tiada ilah selain Bashar Asad)…! Na’udzubillahi min dzaalika. Suatu pernyataan yang bagi seorang mukmin sejati hanya berhak ditujukan kepada Allah SWT yakni Laa ilaaha illAllah.

Mukmin sejati menyadari pentingnya memelihara iman-tauhidnya bahkan sebelum puncak fitnah –yakni Ad-Dajjal- keluar ke tengah umat manusia. Bahkan ketika dunia diwarnai oleh aneka fitnah pra-Dajjal seorang mukmin telah bersusuah-payah memelihara iman-tauhidnya dengan tidak terjebak oleh aneka fitnah tersebut. Bahkan ketika dunia modern membentuk dirinya menjadi sebuah Novus Ordo Seclorum (tatanan dunia baru) alias Sistem Dajjal ia telah memasang sikap dan antisipasi memelihara iman-tauhidnya.

Seorang mukmin sejati tidak bakal tertipu oleh budaya kafir yang memfitnah manusia dengan sajian hiburan semisal seorang Ratu Setan yang menyebarluaskan berbagai ritual setan dibungkus erotisme, pornografi serta gaya hidup lesbianisme dan gay. Seorang mukmin sejati tidak bakal tertipu oleh ideologi kafir yang menyerukan sekularisme, pluralisme dan liberalisme dibungkus slogan palsu semisal sikap obyektif-universal, tidak diskriminatif, kebinekaan serta kebebasan. Seorang mukmin sejati tidak bakal tertipu oleh sistem politik kafir yang menyerukan kedaulatan di tangan sekumpulan manusia bukan di Tangan Allah, Raja langit dan bumi, dibungkus dengan slogan menyesatkan semisal demokrasi. Seorang mukmin sejati tidak bakal tertipu oleh sistem hukum kafir yang memberikan wewenang kepada manusia atau sekumpulan manusia untuk menetapkan legal-ilegal, baik-buruk serta halal-haramnya suatu perkara, padahal ini merupakan hak prerogratif milik Allah SWT.

Pantas bilamana Nabi Muhammad SAW memperingatkan para sahabat agar memastikan diri dapat selamat menghadapi rangkaian fitnah sebelum keluarnya fitnah Ad-Dajjal. Sebab keselamatan iman-tauhid seseorang pada masa fitnah sebelum keluarnya fitnah Ad-Dajjal, menjamin keselamatan iman-tauhidnya ketika Ad-Dajjal keluar. Dan itu berarti sebaliknya, barangsiapa sebelum Ad-Dajjal keluar saja sudah terjerembab ke dalam aneka fitnah pra-Dajjal, maka jangan harap dirinya bakal sanggup selamat menghadapi fitnah Ad-Dajjal, sebab ia merupakan fitnah paling dahsyat sepanjang zaman.!

Jadi barangsiapa justeru menjadi pendukung dan pembela Ratu Setan, thaghut seperti Bashar Asad, faham sekularisme-pluralisme-liberalisme, sistem politik demokrasi, hukum produk manusia, berarti ia telah terfitnah oleh berbagai fitnah pra-Dajjal. Maka jangan harap ia bakal sanggup menghadapi fitnah Ad-Dajjal, sebab fitnah Ad-Dajjal merupakan puncak fitnah yang jauh lebih dahsyat daripada segenap fitnah sebelum fitnah Ad-Dajjal.!!!
لَأَنَا لَفِتْنَةُ بَعْضِكُمْ أَخْوَفُ عِنْدِي مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ  وَلَنْ يَنْجُوَ أَحَدٌ مِمَّا قَبْلَهَا إِلَّا نَجَا مِنْهَا وَمَا صُنِعَتْ فِتْنَةٌ مُنْذُ كَانَتْ الدُّنْيَا صَغِيرَةٌ وَلَا كَبِيرَةٌ إِلَّا لِفِتْنَةِ الدَّجَّالِ.
Ad-Dajjal disebut-sebut di dekat Rasulullah SAW lalu beliau bersabda: “Sungguh fitnah sebagian dari kalian lebih aku takutkan dari fitnahnya Ad-Dajjal dan tidak ada seorangpun dapat selamat dari fitnah-fitnah  sebelum fitnah Ad-Dajjal melainkan pasti selamat pula dari (fitnah Dajjal) sesudahnya, dan tidak ada fitnah yang dibuat sejak adanya dunia ini –baik kecil ataupun besar- kecuali untuk fitnah Ad-Dajjal.” (HR. Ahmad–22215). Wallahu 'Alam. UA.^)^

Kamis, 14 Maret 2013

Kerajaan Lamuri di Aceh Besar

"Save for Lamuri"
Oleh: Haekal Afifa

Dalam beberapa catatan sejarah, di ujung utara Pulau Sumatera dibuka sebuah kerajaan oleh rambongan suku bangsa Mon Khmer, dikepalai oleh Maharadja Indra Purba Sjahir Dauli. Yakni kerajaan Indra Purba yang dikenal dengan bandar Lamuri.

Kerajaan Indra Purba (Lamuri) saat itu mempunyai tiga daerah pertahanan yang sangat strategis posisinya pada masa itu, yakni: Pertama, Indra Puri; yang sekarang masuk dalam kawasan mukim XXII Aceh Besar, Indra Puri dikenal dengan bandarnya Peukan Lam Ili dan juga terdapat bekas kuil hindu hingga ketika Islam masuk ke Aceh kuil tersebut dijadikan sebagai masjid (Masjid Indrapuri sekarang). Kedua, Indra Patra; letaknya dipantai laut didaerah Ladong (Mukim XXVI) dan bandarnya dikenal dengan Krueng Raya. Bekas bentengnya kemudian dijadikan sebagai masjid (masjid Indra Patra) dan juga saat itu di Indra Patra terdapat pesenggarahan negara, yakni komplek perumahan yang dapat menampung seribu tamu negara sehingga komplek itu dikenal dengan Rumoh Siribee.

Ketiga, Indra Purwa; terletak dipantai laut Pasi Neudjid (Mukim VI/Peukan Bada sekarang) dan kawasan pertahanan Indra Purwa saat itu dinamai Indra Keusumba (sekarang dinamai Buket Seubeun, Nusa dan kawasan sekelilingnya). Bandar pertahanan Indra Purwa ketika itu bernama Lambaroo Neudjid, dan Indra Keusumba bagian barat dinamai Peukan Oelee-glee (dipersimpangan jalan Rima dan Peukan Bada sekarang). Daerah pertahanan Indra Purwa/Indra Keusumba masuk dalam mukim XXV sekarang. (Tawarich Radja-Radja Kerajaan Aceh, M. Junus Djamil, 1968)

 Aceh Lhee Sagoe
Dari tiga benteng pertahanan itulah ketika Kerajaan Aceh Darussalam terbentuk dikenal dengan sebutan Aceh Lhee Sagoe (Atjeh Tiga Sagi; Sagi XXVI Mukim, Sagi XXV Mukim, Sagi XXII Mukim) yakni daerah Aceh Besar sekarang. Bukan seperti pemahaman sebagian masyarakat Aceh saat ini yang menyangka bahwa Aceh Lhee Sagoe itu adalah Aceh secara keseluruhan.

Tiga sagi itulah kemudian dicatat dalam hasil riset Snouck Hurgronje dalam bukunya de Atjehers (1893) bahwa orang Aceh melambangkan bentuk Kerajaan Aceh Lhee Sagoe dengan Jeu’ee (alat penampi beras). Bagian ujung Jeu’ee yang menyempit dimaknai sebagai muara sungai (Krueng Aceh) yang berfungsi sebagai mulut tampah untuk mengumpulkan kotoran beras.

Pada tahun 414 H (1024 M) Kerajaan Indra Purba mendapat serangan dari kerajaan India Reandra Cola Mandala, sehingga Kerajaan Indra Purba kalah dan kesatuannya pun terpecah. Tiga daerah pertahanan Indra Purba masing-masing berdiri sendiri. Bahkan Kerajaan Indra Purwa yang sudah berdiri sendiri juga mendapat serangan dari kerajaan Seudu (Cantoli) yang dipimpin oleh seorang panglima wanita yang bernama Puteri Nian Nio Liang Khi (putri Raja Seudu dynasti Liang Khi- terkenal dengan Putro Neng).

Setelah dia menaklukkan Indra Purwa maka serangan ditujukan kepada Kerajaan Indra Purba (Lamuri) yang ketika itu diperintah oleh Maharaja Indra Sakti. Ketika Putroe Neng menyerang Lamuri dia mendirikan benteng penyerangan di daerah yang disebut Lingke sekarang (berasal dari kata Liang Khi).

Saat ini, Kerajaan Lamuri (Indra Purba) hanya menjadi bagian dari sejarah Kerajaan Aceh yang menjadi simbol kegemilangan, Kerajaan Lamuri yang umurnya lebih tua dari peradaban Kerajaan Sriwijaya Palembang tersebut masih bisa kita saksikan artefak dan peninggalan sejarahnya.

Artefak sejarah
Artefak sejarah itu tidak dimasukkan dalam warisan sejarah yang harus dilindungi, bahkan ada artefaknya yang sudah tidak jelas riwayatnya kemana. Apabila kita perhatikan peta Aceh Besar (kaart van groot Atjeh), kita dapat melihat bahwa posisi Indra Purwa dan artefaknya telah terbenam di laut antara pantai Lambaro di Ujong Pancu dan Pulau Angkasa di kawasan Sagi XXV (Mc Kinnon, 2004).

Ironis, ketika kita mengaku sebagai bangsa yang berperadaban dan menjunjung tinggi nilai sejarah sebagai sebuah identitas dan asal usul dari sebuah bangsa, justru kita sendiri yang merusak dan membiarkannya hilang ditelan masa. Tanpa ada upaya yang signifikan merawat dan menjaga untuk dijadikan warisan kepada anak-cucu kita, agar mereka kelak tidak kehilangan identitasnya.

Memang, setelah tsunami menerjang Aceh banyak benda-benda sejarah menjadi korban. Akan tetapi sangat tidak masuk akal ketika dalam proses rekonstruksi pascatsunami, situs sejarah seperti makam-makam digusur karena termasuk dalam planning project pembangunan, seperti salah satu temuan komunitas Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) di kawasan Lambhuk, yang salah satu makam di daerah tersebut harus dikikis oleh program pembangunan drainase kota.

Yang lebih menyakitkan, seperti yang diberitakan oleh berbagai media (19/5/12) bahwa kawasan Kerajaan Lamuri (Indra Purba) di Lamreh, Krueng Raya Aceh Besar, konon kabarnya telah dijual kepada salah satu investor Cina dengan harga Rp 17.000 per meter persegi, untuk kepentingan pembangunan Lapangan Golf bahkan pemerintah sudah memberikan izin kepada pengusaha tersebut (Serambi, 20/5/12). Padahal dalam kawasan tersebut masih tersimpan barang-barang sejarah, artefak dan makam para ulama Aceh (salah satunya makam Syeikh Shadru Islam Maulana Ismail) dan makam raja-raja Lamuri seperti Sultan Malik Muhammad Syah yang wafat pada 1444 Masehi.

 Dinasti ‘Liang Khi’
Menjadi tanda tanya besar, mengapa investor Cina dimaksud sangat berobsesi untuk membeli lahan tersebut? Jika alasan yang dikemukan hanya untuk membangun Lapangan Golf sangat tidak rasional dengan kondisi psikososial masyarakat di Lamreh yang tidak hobi, bahkan mungkin tidak tertarik bermain golf.

Akan tetapi, jika dilihat dari historisnya, bahwa Lamuri pernah dijajah oleh Kerajaan Seudu dari dinasti Liang Khi Cina, besar asumsi bahwa investor Cina tersebut tetarik dengan kandungan sejarah yang ada dalam kawasan Lamuri yang sangat bernilai bagi peradaban Cina.

Sungguh jika ini terjadi, mungkin kita termasuk bangsa yang tidak bisa berterimakasih kepada sejarah dan masa lalu? Ataupun mungkin sebagian dari Pemerintah kita salah dalam menafsirkan hadih maja Aceh; “Meunjoe ka pakat, lampoh djrat tapeugala?” sehingga Pemerintah telah bersepakat untuk menjualnya?

Atau mungkin sengaja dilakukan demi kepentingan “harta karun” yang masih terpendam dalam bumi Lamuri? Yang jelas, seperti kata Van Switen; Sebuah bangsa tidak akan mati karena menginsafi kesalahan yang pernah dibuatnya. Tetapi suatu bangsa akan mati jika mengulangi kembali kesilapan yang pernah dibuatnya.

Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi? Save For Lamuri!

Rabu, 13 Maret 2013

Salah Paham Terhadap Aceh

"Salah Paham Terhadap Aceh"
Oleh: Sarah Mantovani, SH.

Tulisan ini tak bermaksud untuk membuka kembali luka lama Aceh tetapi hanya untuk meluruskan sejarah yang ada.

Kenapa harus Aceh?.

Pencarian saya tentang sejarah Aceh berawal dari kesalahpahaman teman saya di Kairo dengan mahasiswa Aceh yang juga teman saya di Kairo, bahwa mahasiswa Aceh di sana itu eksklusif, tertutup, dan suka membanggakan suku sendiri (contohnya seperti penyebutan masyarakat Aceh yang berubah menjadi rakyat Aceh). Seketika timbul pertanyaan di benak saya : Kenapa dengan orang Aceh? Ada apa dengan mereka? Apa sebabnya teman saya mengatakan seperti itu?. Lalu, saat saya meminta klarifikasi langsung dari salah satu teman saya yang menjadi mahasiswa Aceh di sana via Facebook, saya mendapatkan satu kesimpulan bahwa “Orang Aceh pernah punya pengalaman buruk di masa lalu dengan orang Jawa”. Dan saat itu saya baru teringat bahwa teman saya yang salah paham itu adalah orang Jawa.
Pada awalnya pun saya sempat agak terpengaruh juga dengan ucapan teman saya karena jujur saja, saya paling tidak suka dengan orang yang sukuis (membanggakan suku sendiri lebih baik dari suku yang lain) tapi saya juga tidak bisa menilai dari satu pihak saja, saya harus mencari sendiri apa penyebabnya.

Pikiran saya langsung tertuju pada cerita teman saya yang mahasiswa Aceh bahwa, “Mereka yang di kuburkan di kuburan Kherkof Belanda di Aceh kebanyakan adalah orang-orang Pribumi, bisa dikatakan orang-orang Jawa yang meninggal di Aceh karena termakan taktik devide et impera-nya Tentara Belanda juga ikut di kubur di situ”. Tak hanya itu, saya langsung teringat dengan komentar Pramudya Ananta Toer terhadap Novel Bidadari Hitam yang di tulis oleh T.I Thamrin-orang Aceh asli, “Setiap kali ada yang datang dari suku Aceh, saya selalu minta maaf sebagai orang Jawa. Sudah lebih 100 tahun orang Jawa memerangi Aceh, saya ikut-ikutan bersalah…”.
Dialog-dialog yang ada di dalam Novel tersebut pun membuat saya jadi makin penasaran dengan apa yang terjadi pada Aceh di masa lalu…

“Tidak, nong. Nama kita semua adalah Aceh. Karena itu kita memang bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa di mata orang Jakarta. Aceh yang pernah menolong dan memberi makan mereka, membelikan mereka 2 pesawat terbang, membiayai NKRI yang lagi terjepit ekornya. Tapi, ketika mereka sudah berani mengambil sendiri di lumbung kita, mereka melecehkan, memburu dan membunuh kita seperti kecoak. Kita bilang, silahkan ambil tapi jangan mencuri dan jangan kemaruk, lalu mereka marah besar, menuduh kita pemberontak, karena itu wajib dibunuh. Perempuan kita yang melawan juga diburu dan diperkosanya, seperti tak malu pada Ibu dan saudarinya sendiri. Seperti Ibu dan saudarinya bukan perempuan saja.”.

Timbul banyak pertanyaan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan oleh saya, “Ada apa dengan Aceh pada masa lalu? Kenapa Aceh pernah sangat ingin memisahkan diri dari NKRI? Bagaimana hal itu bisa terjadi? Alasan apa yang menyebabkan Aceh sampai ingin bergabung dengan NII dan mendirikan DI/TII atau GAM? Kenapa Pemerintah pada jaman dulu (era Presiden Sukarno sampai Presiden Megawati) harus bertindak brutal, kejam dan sadis hanya karena ingin mempertahankan Aceh untuk tetap di wilayah NKRI? Kenapa cara-cara tersebut harus di lakukan oleh Pemerintah?”
Dan dari situ saya baru menyadari bahwa ada potongan sejarah lain yang belum saya ketahui dari Aceh.

Aceh masa lalu adalah Sebuah Negara.

Tak etis rasanya bila saya tidak menceritakan saat Aceh masih menjadi sebuah negara yang berdiri sendiri.
Sejarawan Said ‘Alawi Thahir al-Haddad dalam bukunya “Al-Madkhal ilaa Taarikh al-Islam fi al-Syarq al-Aqsa” menyebutkan satu dokumen kuno dari Dinasti Yang di Cina, yang menceritakan pada tahun 518 M telah datang kepada raja Cina utusan dari kerajaan Puli yang terletak di ujung utara pulau Sumatera (kerajaan Puli adalah kerajaan Puli atau Indra Puri yang memang telah ada di Aceh sebelum Islam datang. Namun, karena kesulitan mengucap huruf R dalam dialek Cina, maka berubah menjadi L sehingga tertulis “Puli” dalam dokumen Dinasti Yang tersebut. Sisa-sisa dari kerajaan ini masih bisa ditemukan di kawasan Indra Puri, Aceh Besar). Dokumen ini juga menceritakan bahwa kerajaan Puli terbagi dalam 136 wilayah dengan luas wilayah 50 hari perjalanan kaki dari utara ke selatan dan 20 hari perjalanan kaki dari barat ke timur. Dokumen ini membuktikan bahwa sejak abad ke-6 M, orang-orang yang mendiami daerah pesisir Aceh telah mengenal suatu tata cara kehidupan yang berperadaban cukup maju dibanding kawasan-kawasan lain di Nusantara, kecuali kawasan pinggiran sungai Mahakam di Kalimantan Timur, dimana kerajaan Hindu Kutai telah berdiri sejak abad ke 5 M, begitu juga kawasan Jawa Barat dengan kerajaan Taruma Negaranya.

Daerah pesisir utara Aceh mulai disinggahi para pedagang Muslim dari Malabar di India atau langsung dari Jazirah Arab pada abad ke-7 M (1 H), sebagaimana disebutkan L. Van Rijck Vorsel dalam bukunya “Riwayat kepulauan Hindia Timur”. Ia juga menyebutkan bahwa orang-orang Arab telah lebih dahulu tiba di Sumatera 750 tahun sebelum kedatangan Belanda ke sana.

Namun, kerajaan Islam baru muncul pada awal abad ke-9 M. Di antara kerajaan-kerajaan Islam yang pertama di Aceh adalah kerajaan Peureulak di pesisir timur Aceh yang berdiri pada tahun 804 M, kerajaan Lamuri dan Samudra Pasai di pesisir utara Aceh.

Pada awal abad ke 16 M, berdirilah kerajaan Islam Aceh Darussalam yang berbentuk kesultanan Aceh dengan raja pertamanya Sultan Ali Mughayat Syah (1513-1530) putra dari sultan Syamsu Syah dan cucu dari sultan Inayat Syah dari kerajaan Lamuri. Kerajaan Aceh Darussalam yang lahir pada tanggal 12 Dzulqa’idah 916 (1513 M) adalah sebuah kerajaan Federasi yang terdiri dari kerajaan Islam Peureulak, kerajaan Islam Samudra Pasai, kerajaan Lamuri, kerajaan Islam Lamno Jaya, kerajaan Islam Lingge, kerajaan Islam Pedir dan kerajaan Islam Teuming. Peleburan kerajaan-kerajaan Islam Aceh dalam satu wadah itu kemudian diberi nama kerajaan Aceh Raya Darussalam, atau lebih dikenal dengan proklamasi Samudra Pasai.

Kerajaan Aceh Darussalam mencapai masa keemasannya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ia mampu menempatkan kerajaan Islam di Aceh pada peringkat kelima di antara kerajaan terbesar Islam di dunia pada abad ke 16. Kelima kerajaan Islam tersebut adalah kerajaan Islam Turki Utsmani di Istanbul, kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah, kerajaan Islam Akra di India dan kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara. (Mutiara Fahmi, tesis: Gerakan Kemerdekaan di Aceh dalam pertimbangan Hukum Islam, 2006, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hlm. 70-72)

Lalu kenapa Aceh pernah sangat ingin memisahkan diri dari NKRI?

Berikut ini adalah beberapa faktor kenapa Aceh pernah ingin memisahkan diri dari NKRI:
Sikap pemimpin RI yang dipandang oleh Tgk. Daud Beureueh telah menyimpang dari jalan yang benar.

Karena pada waktu itu Presiden Sukarno pernah berjanji memberikan hak kepada Aceh untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syari’at Islam dan janji tersebut tak pernah diwujudkan. Hal ini diperkuat oleh pengakuan saksi dan pelaku sejarah Tgk. H. Syech Marhaban Hasan yang menceritakan, saat kunjungan Soekarno ke Aceh, Soekarno pernah meminta kepada Tgk. Daud Beureueh untuk membantu perang bersenjata antara Indonesia dengan Belanda, Daud Beureueh menyanggupi asalkan dengan 2 syarat : perang yang dikobarkan adalah perang Fisabilillah dan rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan syari’at Islam di dalam daerahnya apabila perang telah usai. Akhirnya Soekarno menyanggupi 2 syarat tersebut, Namun, Daud Beureueh meragukan janji Soekarno dan meminta Soekarno untuk menuliskan janjinya tersebut di atas secarik kertas. Melihat hal itu, Soekarno langsung menangis terisak-isak dan merasa tidak dipercaya. Melihat Soekarno menangis, Daud Beureueh menjadi terharu dan kemudian berkata, “Bukan kami tidak percaya saudara presiden. Akan tetapi, hanya sekedar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang”. Lalu Soekarno menyeka air matanya dan menjawab: “Wallahi, Billahi, kepada Daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai syari-at Islam. Dan Wallahi, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syari’at Islam di dalam daerahnya”. Menurut keterangan Daud Bereueh, karena iba hatinya melihat Presiden menangis terisak-isak, dirinya tak sampai hati lagi meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji Presiden Soekarno. (Ibid, hlm. 119-121)

Kekecewaan rakyat Aceh saat status propinsi Aceh yang belum genap berumur setahun dibubarkan oleh kebijakan Pemerintah Pusat dan menggabungkannya dengan Propinsi Sumatera Utara (yang berbeda latar belakang serta kebudayaannya) dengan alasan yang cukup ironis yaitu karena bertentangan dengan hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang hanya mengakui 10 propinsi dalam wilayah Republik Indonesia Serikat (RIS). Padahal, RIS itu sendiri justru lahir dan mendapat pengakuan Internasional karena masih adanya Aceh sebagai satu-satunya wilayah modal Indonesia yang tidak dapat kembali di duduki oleh Belanda dalam perjuangan fisik. (Ibid, hlm. 121)

Saat Aceh masih menjadi sebuah Negara, Aceh tidak pernah menyerahkan kedaulatannya kepada Belanda, sehingga secara hukum, Aceh bukan Hindia Belanda dan dengan demikian saat Hindia Belanda menjadi Indonesia, Aceh tidak secara otomatis berada di dalamnya. Menurut teori Ilmu Negara dan Hukum Internasional, bangsa dan Negara Aceh belum lebur tapi bermasalah. Hilangnya status suatu bangsa dan negara menurut Sofyan Ibrahim Tiba, SH (juru runding Gerakan Aceh Merdeka) karena satu dari dua alasan, yaitu alasan alam, seumpama buminya hancur atau tenggelam. Dan alasan sosial politik, jika negara atau bangsa itu telah menggabungkan diri ke dalam atau bersama bangsa lain. Oleh karena itu, menurut GAM, penggabungan Aceh ke dalam Indonesia saat proklamasi 17 Agustus 1945 belum sah dan merupakan kekeliruan ketata-negaraan. Aceh menurutnya, sejak proklamasi tidak pernah menyatakan bergabung dengan NKRI seperti halnya Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman melalui keputusan Kotikokootai (Dewan Perwakilan Rakyat) tanggal 19 Agustus 1945. (Ibid, hlm. 141-142)

Karena perlakuan tidak adil dari pemerintah pusat terhadap Aceh. Seperti sikap sentralistik pemerintah Orba terhadap Aceh yang telah melahirkan kesenjagan sosial-ekonomi yang cukup mencolok di daerah istimewa Aceh. Sebagai contoh, penerimaan APBD propinsi Daerah Istimewa Aceh tahun 1997/1998 hanya berkisar 150 milyar dari +/- Rp. 32 triliun yang disumbangkannya untuk negara pada tahun yang sama. Artinya, apa yang diterima Aceh tidak sampai 0,5 % dari total yang disumbangkannya. (lihat Said Mudhakar Ahmad, Masalah Aceh: Dilema antara Sikap, Martabat dan Rasa Keadilan, Waspada (Harian), Medan 31 Agustus 1998). (Ibid, hlm. 82).

Alih-alih ingin mengamankan situasi dari tindakan suatu gerakan yang disebut pemerintah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan memberlakukan Daerah Operasi Militer (DOM), banyak korban sipil yang menjadi korban pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against Humanity) dalam pemberlakuan status DOM tersebut. Seperti adanya pembunuhan, adanya penyiksaan atau penganiayaan baik secara fisik maupun mental, adanya penangkapan dan penahanan yang sewenang-wenang, adanya kekerasan seksual, adanya penghilangan paksa dll. (untuk mengetahui lebih jauh tentang jumlah korban DOM, lihat buku yang ditulis oleh Al-Chaidar, (Ibid, hlm. 84).

Karena efek dari kesalahpahaman teman saya inilah yang akhirnya membuat saya menjadi jatuh cinta pada Aceh dan masa lalunya. Seharusnya mereka yang kontra terhadap pemberlakuan syari’at Islam di Aceh dengan alasan karena terbentur dengan undang-undang yang ada di atasnya bisa mengingat kembali janji dan sumpah Presiden Sukarno dulu terhadap Tgk Daud Beureueh-khususnya pada rakyat Aceh. **

Selasa, 12 Maret 2013

Wilayah Kedaulatan Kerajaan Aceh

"Wilayah Kedaulatan Kerajaan Aceh'' 
Oleh: Fazzan, MA., Ph. D

Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur pada masa kejayaannya. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau, Sumatera Timur, hingga Perak di semenanjung Malaysia.
Aceh merupakan salah satu bangsa di pulau Sumatra yang memiliki tradisi militer, dan pernah menjadi bangsa terkuat di Selat Malaka, yang meliputi wilayah Sumatra dan Semenanjung Melayu, ketika dibawah kekuasaan Iskandar Muda. Sultan Iskandar Muda kemudian menikah dengan seorang putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cintanya. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengubati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.

Aceh melawan Portugis.

Ketika Kesultanan Samudera Pasai dalam krisis, maka Kesultanan Malaka yang muncul dibawah Parameswara (Paramisora) yang berganti nama setelah masuk Islam dengan panggilan Iskandar Syah. Kerajaan Islam Malaka ini maju pesat sampai pada tahun 1511 ketika Portugis dibawah pimpinan Afonso d'Albuquerque dengan armadanya menaklukan Malaka.
Ketika Malaka jatuh ke tangan Portugis, kembali Aceh bangkit dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1528). Yang diteruskan oleh Sultan Salahuddin (1528-1537). Sultan Alauddin Riayat Syahal Kahar (1537-1568). Sultan Ali Riyat Syah (1568-1573). Sultan Seri Alam (1576. Sultan Muda (1604-1607). Sultan Iskandar Muda, gelar marhum mahkota alam (1607-1636). Semua serangan yang dilancarkan pihak Portugis dapat ditangkisnya.

Hubungan Aceh dengan Barat.
1. Inggris.

Pada abad ke-16, Ratu Inggris, Elizabeth I, mengirimkan utusannya bernama Sir James Lancester kepada Kerajaan Aceh dan mengirim surat yang ditujukan: "Kepada Saudara Hamba, Raja Aceh Darussalam." serta seperangkat perhiasan yang tinggi nilainya. Sultan Aceh kala itu menerima maksud baik "saudarinya" di Inggris dan mengizinkan Inggris untuk berlabuh dan berdagang di wilayah kekuasaan Aceh. Bahkan Sultan juga mengirim hadiah-hadiah yang berharga termasuk sepasang gelang dari batu rubi dan surat yang ditulis di atas kertas yang halus dengan tinta emas. Sir James pun dianugerahi gelar "Orang Kaya Putih". Sultan Aceh pun membalas surat dari Ratu Elizabeth I. Berikut cuplikan isi surat Sultan Aceh, yang masih disimpan oleh pemerintah kerajaan Inggris, tertanggal tahun 1585:

“ Sayalah sang penguasa perkasa Negeri-negeri di bawah angin, yang terhimpun di atas tanah Aceh dan atas tanah Sumatra dan atas seluruh wilayah wilayah yang tunduk kepada Aceh, yang terbentang dari ufuk matahari terbit hingga matahari terbenam”.

Hubungan yang mesra antara Aceh dan Inggris dilanjutkan pada masa Raja James I dari Inggris dan Skotlandia. Raja James mengirim sebuah meriam sebagai hadiah untuk Sultan Aceh. Meriam tersebut hingga kini masih terawat dan dikenal dengan nama Meriam Raja James.

2. Perancis.

Kerajaan Aceh juga menerima kunjungan utusan Kerajaan Perancis. Utusan Raja Perancis tersebut semula bermaksud menghadiahkan sebuah cermin yang sangat berharga bagi Sultan Aceh. Namun dalam perjalanan cermin tersebut pecah. Akhirnya mereka mempersembahkan serpihan cermin tersebut sebagai hadiah bagi sang Sultan. Dalam bukunya, Denys Lombard mengatakan bahwa Sultan Iskandar Muda amat menggemari benda-benda berharga. Pada masa itu, Kerajaan Aceh merupakan satu-satunya kerajaan Melayu yang memiliki Balee Ceureumeen atau Aula Kaca di dalam Istananya. Menurut Utusan Perancis tersebut, Istana Kesultanan Aceh luasnya tak kurang dari dua kilometer. Istana tersebut bernama Istana Dalam Darud Donya (kini Meuligo Aceh, kediaman Gubernur). Di dalamnya meliputi Medan Khayali dan Medan Khaerani yang mampu menampung 300 ekor pasukan gajah. Sultan Iskandar Muda juga memerintahkan untuk memindahkan aliran Sungai Krueng Aceh hingga mengaliri istananya (sungai ini hingga sekarang masih dapat dilihat, mengalir tenang di sekitar Meuligoe). Di sanalah sultan acap kali berenang sambil menjamu tetamu-tetamunya.

3. Belanda.

Selain Kerajaan Inggris, Pangeran Maurits – pendiri dinasti Oranje– juga pernah mengirim surat dengan maksud meminta bantuan Kesultanan Aceh Darussalam. Sultan menyambut maksud baik mereka dengan mengirimkan rombongan utusannya ke Belanda. Rombongan tersebut dipimpin oleh Tuanku Abdul Hamid. Rombongan inilah yang dikenal sebagai orang Indonesia pertama yang singgah di Belanda. Dalam kunjungannya Tuanku Abdul Hamid sakit dan akhirnya meninggal dunia. Ia dimakamkan secara besar-besaran di Belanda dengan dihadiri oleh para pembesar-pembesar Belanda. Namun karena orang Belanda belum pernah memakamkan orang Islam, maka beliau dimakamkan dengan cara agama Nasrani di pekarangan sebuah gereja. Kini di makam beliau terdapat sebuah prasasti yang diresmikan oleh Mendiang Yang Mulia Pangeran Bernhard suami mendiang Ratu Juliana dan Ayah Yang Mulia Ratu Beatrix.

4. Turkey (Sultan Utsmaniyah).

Pada masa Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengirim utusannya untuk menghadap Sultan Utsmaniyah yang berkedudukan di Istanbul. Lalu pada akhirnya ketika mereka diterima oleh sang Sultan Utsmaniyah, persembahan mereka hanya tinggal Lada Sicupak atau Lada sekarung. Namun sang Sultan menyambut baik hadiah itu dan mengirimkan sebuah meriam dan beberapa orang yang cakap dalam ilmu perang untuk membantu kerajaan Aceh. Meriam tersebut pula masih ada hingga kini dikenal dengan nama Meriam Lada Sicupak. Pada masa selanjutnya Sultan Utsmaniyah mengirimkan sebuah bintang jasa kepada Sultan Aceh.meriam tersebut menurut informasi kini berada di desa Blang Balok kecamatan peureulak.

Tau kah anda siapa Aceh itu?
Aceh tidak pernah berontak pada NKRI, karena sejarah mengatakan seperti itu.

Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Nangroe Aceh Darussalam, kita sering mendengar istilah ‘pemberontakan rakyat Aceh’ atau ‘pemberontakan Aceh’ terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah ‘kontingen’ pasukan dari berbagai daerah terutama dari Jawa dikirim ke Aceh untuk ‘memadamkan’ pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah ‘pemberontakan’ yang dilakukan Aceh terhadap NKRI. Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan kurang tepat? Karena sesungguhnya dan ini fakta sejarah bahwa Naggroe Aceh Darussalam sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, “berontak” dengan “menarik kesepakatan” merupakan dua hal yang sangat berbeda.

Aceh Sudah Berdaulat Sebelum NKRI Lahir.

NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan Nanggroe Aceh Darussalam sudah berabad-abad sebelumnya merdeka, memiliki hukum kenegaraan Qanun-nya sendiri, menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Tuki Utsmaniyah.

Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di abad ke -20 ?

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan negara berdaulat yang sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk menyerang dan menundukkan Aceh, namun keduanya menemui kegagalan, walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat negerinya.

Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada rakyat Aceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang bernafaskan Islam.

Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, berabad-abad Kerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai “Negara” yang merdeka dan berdaulat.

Istilah “Indonesia” sendiri baru saja lahir di abad ke-19. Jika diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang manusia dewasa yang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri, sedang “Indonesia” masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendiri saja belum lah mampu melakukannya.

Banyak literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh sebagai “Rakyat Aceh”, tapi tidak pernah menyebut hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanya rakyat Aceh. Karena Aceh sendari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat. ^_^