KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM
Oleh Prof. Dr. Fazzan, MA
Korupsi adalah sebuah kata yang mempunyai banyak arti. Arti kata korupsi secara harfiah ialah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.[1] Korupsi dalam Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa yang dimaksud dengan korupsi adalah usaha memperkaya diri atau orang lain atau suatu korporasi dengan cara melawan hukum yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Dalam undang-undang korupsi yang berlaku di Malaysia korupsi diartikan sebagai reswah yang dalam bahasa Arab bermakna suap.[2] Berbeda dengan korupsi dan suap, hadiah sesungguhnya adalah sebuah perbuatan yang tidak melanggar. Tetapi dalam hal ini perlu untuk meneliti apa sesungguhnya kriteria hadiah yang tidak merupakan korupsi ataupun suap.
Pada Surat Al-Baqarah ayat 188 disebutkan secara umum bahwa Allah Swt. melarang untuk memakan harta orang lain secara batil. Qurtubi memasukkan dalam kategori larangan ayat ini adalah: riba, penipuan, ghasab, pelanggaran hak-hak, dan apa yang menyebabkan pemilik harta tidak senang, dan seluruh apa yang dilarang oleh syariat dalam bentuk apapun.[3] Al-Jassas mengatakan bahwa pengambilan harta orang lain dengan jalan batil ini bisa dalam dua bentuk:
1. Mengambil dengan cara zhalim, pencurian, khianat, dan ghasab (menggunakan hak orang lain tanpa izin).
2. Mengambil atau mendapatkan harta dari pekerjaan-pekerjaan yang terlarang, seperti dari bunga/riba, hasil penjualan khamar, babi, dan lain-lain.[4]
Asbabunnuzul ayat ini diturunkan kepada Abdan bin Asywa’ al-Hadhramy menuduh bahwa ia yang berhak atas harta yang ada di tangan al-Qais al-Kindy, sehingga keduanya bertengkar di hadapan Nabi Saw. Al-Qais membantah dan ia mau bersumpah untuk membantah hal tersebut, akan tetapi turunlah ayat ini yang akhirnya Qais tidak jadi bersumpah dan menyerahkan harta Abdan dengan kerelaan.[5]
Pokok permasalahan dalam ayat di atas adalah larang memakan harta orang lain secara umum dengan jalan batil, apalagi dengan jalan membawa ke depan hakim, sedangkan jelas harta yang diambil tersebut milik orang lain. Korupsi adalah salah satu bentuk pengambilan harta orang lain yang bersifat khusus. Dalil umum di atas adalah cocok untuk memasukkan korupsi sebagai salah satu bentuk khusus dari pengambilan harta orang lain. Ayat di atas secara tegas menjelaskan larangan untuk mengambil harta orang lain yang bukan menjadi haknya.
Selanjutnya pada surat Ali Imran ayat 161 lebih spesifik disebutkan tentang ghulul yang bermakna khianat.[6] Maksudnya mengkhianati kepercayaan Allah Swt. dan manusia,[7] terutama dalam pengurusan dan pemanfaatan harta ghanimah. Lebih jelas Ibnu Katsir menyebutkan dari Aufy dari Ibnu Abbas bahwa ghulul adalah membagi sebagian hasil rampasan perang kepada sebagian orang sedangkan sebagian lagi tidak diberikan.[8]
Asbabunnuzul ayat ini adalah ketika sebuah harta rampasan perang setelah perang badar hilang, orang-orang munafiq menuduh bahwasanya Nabi Saw. menggelapkan barang tersebut, sehingga turunlah ayat ini.[9]
Ayat ini merupakan peringatan untuk menghindarkan diri dari pengkhianatan amanat dalam segala bentuk.[10] Ibnu Arabi menyebutkan bahwa secara bahasa makna ghulul ada tiga, yaitu khianat, busuk hati, dan khianat terhadap amanat ghanimah.[11] Ayat ini secara khusus ditujukan kepada Nabi Saw. tentang keadilan di dalam pembagian harta ghanimah yang berasal dari rampasan perang, akan tetapi maksud ayat ini ditujukan umum kepada seluruh umat Islam. Ketika Muadz diutus ke Yaman, Rasulullah Saw. juga memberikan nasehat untuk tidak berlaku ghulul, sebagaimana disebutkan di dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi.
Ayat ini secara spesifik memang hanya membahas tentang penyalahgunaan harta bersama untuk dikuasai sendiri, akan tetapi ini akan menjelaskan bagaimana seseorang tidak boleh berlaku khianat atau menyelewengkan harta tersebut. Sesuai dengan salah satu makna korupsi bahwa pekerjaan ini termasuk penggelapan terhadap harta orang lain atau masyarakat.
Analog korupsi dengan ghulul menurut penulis adalah cukup dekat dengan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Korupsi adalah penyalahgunaan harta negara, perusahaan, atau masyarakat. Ghulul juga merupakan penyalahgunaan harta negara, karena memang pemasukan harta negara pada zaman Nabi Saw. adalah ghanimah. Adapun saat ini permasalahan uang negara berkembang tidak hanya pada ghanimah, tetapi semua bentuk uang negara.
2. Korupsi dilakukan oleh pejabat yang terkait, demikian juga ghulul merupakan pengkhianatan jabatan oleh pejabat yang terkait.
Selanjutnya di dalam Surat Al-Maidah ayat 33 dan 38 disebutkan secara khusus tentang hirabah[12] dan sariqah. Ayat pertama adalah pengambilan harta orang lain dengan terang-terangan yang bisa disertai dengan kekerasan, atau dengan cara melakukan pengrusakan di muka bumi. Sedangkan yang kedua adalah pengambilan harta orang lain atau pencurian dengan diam-diam.[13] Abd al-Qadir ‘Awdah[14] mendefinisikan hirabah sebagai perampokan (qath,u at-thuruq) atau pencurian besar. Lebih lanjut beliau mengatakan pencurian (sariqah) memang tidak sama persis dengan hirabah. Hirabah mempunyai dampak lebih besar karena dilakukan dengan berlebihan. Hal ini karena hirabah kadang disertai dengan pembunuhan dan pengambilan harta atau kadang pembunuhan saja tanpa pengambilan harta.
Secara khusus korupsi adalah identik dengan pencurian atau sariqah, akan tetapi pelaksanaan korupsi disertai dengan berbagai macam dalih yang lebih membutuhkan penelitian dan pembuktian. Korupsi memberikan dampak negatif yang sangat besar di masyarakat, apalagi dengan kasus-kasus yang saat ini terjadi di Indonesia. Korupsi tidak hanya merugikan satu dua orang akan tetapi korupsi telah menjadi ancaman bagi kestabilan keamanan dan kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat. Oleh karena itu menurut penulis korupsi berdasarkan hal ini secara illat korupsi lebih condong kepada hirabah.
Dalam hukuman bagi pelaku sariqah dan hirabah juga berbeda. Menurut penulis pemberlakuan hukuman mati bagi koruptor bisa mengambil landasan dari ayat hirabah ini. Karena seorang koruptor yang melakukan tindakan dengan disertai pemberatan dan penghalalan segala cara maka bisa dimasukkan ke dalam delik hirabah ini. Berbeda dengan pasal pencurian yang hanya dengan potong tangan. Pencurian relatif lebih kecil dibandingan dengan hirabah. Demikian juga dengan apabila dibandingkan dengan korupsi. Pencurian biasa yang dilakukan oleh seorang kriminal murni mungkin relatif lebih kecil dampaknya jika dibandingkan dengan korupsi yang akan membahayakan banyak orang dan bahkan negara.
Selanjutnya yang termasuk dalam kategori korupsi adalah ghasab. Ayat 79 dari surat Al-Kahfi adalah menceritakan seorang raja yang zalim yang akan mengambil kapal dari orang-orang miskin dengan jalan ghasab. Seorang alim yang dikisahkan dalam ayat ini lantas menenggelamkan kapal agar supaya tidak bisa dimanfaatkan dengan tidak halal (ghasab) oleh raja yang zalim tersebut.[15]
Pengertian ghasab adalah menguasai harta orang lain dengan pemaksaan dengan jalan yang tidak benar, lebih lanjut dijelaskan bahwa ghasab dilakukan dengan terang-terangan sedangkan ketika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi maka dinamakan pencurian.[16] Hanya ghasab ini kadang berupa pemanfaatan barang tanpa izin yang kadang dikembalikan kepada pemiliknya.[17]
Menganalogikan ghasab sebagai salah satu bentuk korupsi dengan alasan bahwa ayat di atas menceritakan bagaimana seorang raja yang semena-mena dapat dengan seenaknya menggunakan hak milik rakyatnya yang miskin dengan memanfaatkan kapal yang dimiliki oleh rakyat untuk kepentingan pribadinya. Pada kasus ini ada unsur memperkaya diri atau pribadinya dengan menggunakan hak rakyatnya dengan jalan yang tidak benar.
Semua bentuk-bentuk pengambilan hak orang lain di atas jelas-jelas telah dilarang dan diwanti-wanti oleh Rasulullah ketika haji wada’[18] dengan sabda Beliau: Artinya: Sesungguhnya darah-darahmu, harta-hartamu, dan kehormatan-kehormatanmu adalah haram bagimu sebagaimana haramnya hari kalian ini di dalam bulan kalian ini dan di negeri kalian ini.
Pembahasan selanjutnya adalah tentang suap (risywah) yang terdapat di dalam Hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, Ahmad, Tirmizi dan Ibnu Majah. Pengertian suap menurut Ibnu al-Qayyim adalah sebuah perantara untuk dapat memudahkan urusan dengan pemberian sesuatu atau pemberian untuk membatalkan yang benar atau untuk membenarkan yang batil.[19] Ayat di atas mengaitkan kata suap dengan kata hukum. Bahwa penyuapan adalah dilakukan demi mengharapkan kemenangan dalam perkara yang diinginkan seseorang, atau ingin memudahkan seseorang dalam menguasai hak atas sesuatu.
Lebih lanjut dijelaskan apabila pemberian tersebut dimaksudkan untuk menuntut hak atau menghindarkan diri dari dizhalimi maka menurut beliau hal tersebut tidak apa-apa dan bukan kategori suap yang dilaknat. Hanya saja pendapat ini dibantah oleh Syaukani yang mengatakan bahwa pengkhususan tentang pemberian untuk menuntut hak tidak memiliki dasar yang jelas, yang benar menurut beliau kembali kepada keumuman Hadits yang menyebutkan larangan segala bentuk pemberian dalam bentuk suap.[20]
Selanjutnya pembahasan terakhir dalam kajian ini adalah tentang hadiah. Di atas telah dijelaskan bahwa hadiah adalah pemberian yang bisa bermaksud kenang-kenangan, penghargaan dan penghormatan.[21] Adapun hadiah dalam pengertian fiqih Islam hampir sama dengan hibah, yaitu pemberian sesuatu untuk memuliakan seseorang tanpa mengharap balasan.[22] Akan tetapi menurut Sayyid Sabiq hadiah sebaiknya orang yang diberi memberikan balasan setelah diberi hadiah[23]. Hadits di awal menyebutkan bahwa seandainya Nabi Saw. diundang untuk menerima kura’ (bagian lengan sampai dengan siku dari binatang seperti kambing)[24] maka beliau akan datang. Hal ini menunjukkan penghargaan beliau untuk menerima pemberian ataupun hadiah.
Pada Hadits di atas dijelaskan bahwa Rasulullah Saw. senang untuk menerima hadiah, bahkan juga dari orang kafir yang bukan kafir harbi[25]. Hal ini berdasarkan sebuah Hadits.[26]
Dalam permasalahan hadiah ini terdapat perbedaan pendapat dari para ulama tentang apakah hadiah harus dibalas dengan hadiah ataukah tidak mesti harus dibalas. Dalam hadits dari Abu Hurairah dijelaskan dalam bentuk kalimah: Artinya saling memberikan hadiah. Namun belakangan dalam qaul jadid Imam Syafi’i sebagaimana dikutip Syaukani[27] bahwa pemberian untuk mengharapkan diberi balasan dari orang yang diberi adalah batil, karena merupakan bentuk jual beli terselubung yang tidak ada keridhaan dan saling menyenangkan.
Pemberian hadiah dan pemberian suap adalah dua bentuk pekerjaan yang dalam prakteknya banyak orang mengaburkan sifat dan fungsi keduanya. Masing-masing sesungguhnya berada pada dua sisi yang berbeda dalam kedudukannya dalam hukum Islam. Hadiah sesungguhnya adalah pekerjaan mubah bahkan sunnah yang dianjurkan Nabi Saw., bahkan menurut Khitabi sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq bahwa Hadits yang melarang menerima hadiah dari orang kafir telah dihapus dengan perbuatan Nabi Saw yang menerima hadiah lebih dari satu kali dari orang-orang kafir.[28]
Sedangkan suap adalah pekerjaan yang dilarang dan pelaku dan penerimanya adalah dilaknat. Walaupun kadang tampak pemberian suap ini seperti hadiah tetapi sesungguhnya suap akan selalu terkait dengan permasalahan hukum atau pelaksanaan hak-hak dan kewajiban orang yang memberi dan yang diberi. Oleh karena itu menurut penulis wajar jika ada aturan bagi pejabat-pejabat pemerintahan atau hukum untuk tidak menerima apapun dari orang yang berhubungan dengan mereka walaupun itu kadang dinamakan dengan hadiah. Ada sebuah kaedah yang berbunyi, Artinya: Sesuatu yang mubah jika menyebabkan atau mengarahkan kepada yang haram maka hukumnya haram.[29]
Dalam hal pemberian hibah atau hadiah adalah pekerjaan mubah yang dibolehkan, akan tetapi jika pekerjaan yang bersifat mubah ini menyebabkan ke arah penyuapan atau menyebabkan tidak adilnya seseorang dalam menetapkan hak-hak dan kewajiban atau tidak adil dalam menetapkan hukum, maka hukum pemberian ini bisa menjadi haram.
Kesimpulannya, korupsi adalah perbuatan yang mengandung banyak defenisi yang sesuai dengan pemahaman dari Al-Quran, Hadits dan juga Fiqih Islam. Pada hakekatnya defenisi korupsi adalah usaha memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan jalan melanggar hukum. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran hukum tersebut adalah bisa berupa ghulul, pencurian (sariqah), perampokan (hirabah), menggunakan barang orang lain tanpa izin (ghasab), suap (risywah). Hanya saja menurut penulis jika perbuatan korupsi jelas-jelas mengarah kepada perusakan makro ekonomi dan sosial negara, maka hal tersebut layak untuk ditetapkan sebagai kategori hirabah. Hukuman bagi pelakunya adalah sangat berat di dalam Islam bahkan sampai hukuman mati.
[1] Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Raja Grafindo Perkasa, 2005), hal. 5.
[2] Andi Hamzah, Pemberantasan…, hal. 5.
[3] Al-Qurtuby, Al-Jami’ li Ahkam al-Quran, Jilid 1, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), hal. 225.
[4] Al-Jassas, Ahkam Al-Quran, Jilid 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), hal. 344. Lihat juga, Thiba’iy, Al-Mzan fi Tafsir Al-Quran, Jilid 4 (Beirut: Muassasah al-A’lami, 1983), hal. 57.
[5] Al-Qurtuby, Al-Jami’ li Ahkam…, Jilid 1, hal. 225.
[6] Al-Qurtuby, Al-Jami’ li Ahkam…,Jilid 2, hal. 62-63.
[7] Al-Qurtuby, Al-Jami’ li Ahkam…,Jilid 2, hal. 62-63.
[8] Ibnu Katsir, Al-Quran al-Azdhim, Jilid 1, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), hal. 517.
[9] Ibnu Katsir, Al-Quran…, Jilid 1, hal. 517.
[10] Muhamad Ali As-Shabuny, Mukhtasar Ibnu Katsir, Jilid 1 (Kairo: Dar as-Shabuni, tt.), hal. 332.
[11] Ibnu Arabi, Ahkam al-Quran, Jilid 1, (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyah, tt), hal. 392.
[12] Abd al-Qadir ‘Awdah menyebut hirabah ini sebagai sariqah kubr atau pencurian besar di dalam bukunya Tasyri Jina’iy.
[13] Muhammad Ali As-Shabuny, Rawaiulbayan Tafsir Ayat Ahkam, Jilid 1, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), hal. 551-551.
[14] Abd al-Qadir ‘Awdah, At-Tasyri’ al-Jina’i al-Islamy, Jilid 2, (Beirut: Muassah Risalah, 1997), hal. 638-639.
[15] Ibnu Arabi, Ahkam..., Jilid 1, hal. 242. Lihat juga, At-Thobary, Tafsir At-Thabary, Jilid 8, (Beirut: Dar-Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999), hal. 264.
[16] Taqiuddin, Kifayatul Akhyar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1995), hal. 384. Lihat juga, Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 3, (Beirut: Dar al-Fikr,1983), hal. 236.
[17] Al-Qurtuby, Al-Kaafy fi Fiqhi Ahli al-Madinah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.), hal. 428.
[18] Sebagaimana dikutip Sayyid Sabiq, Fiqih…, Jilid 3, hal. 337.
[21] Tim, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 333.
[22] Sa’di Abu Jaib, Al-Qamus Al-Fiqhi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), hal. 367 dan 390.
[23] Sayyid Sabiq, Fiqih…, Jilid 3, hal. 337.
[24] Kafury, Tuhfatul Ahwazy, Jilid 4, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.), hal. 473.
[25] Orang kafir dengan kriteria khusus dalam fiqih. mereka masih menentang Islam dan masih berupaya untuk memerangi Islam.
[26] Syaukani, Nailul Authar, Jilid 3, (Beirut: Dar al-Jail, tt.), hal. 3.
[27] Syaukani, Nailul…, Jilid 3, hal. 5.
[28] Sayyid Sabiq, Fiqih…, Jilid 3, hal. 389.
[29] Muhammad Ar-Ruki, Nazriyat at-Ta’id al-Fiqhi wa Atsruha fi Ikhtilafi al-Fuqaha, (Ribath: Mathba’ah An-Najah al-Jadidah, 1994), hal. 59.