Syari'at Islam Aceh Untuk Masyarakat Modern
Oleh: Fazzan, MA. Ph. D (Ed.)
A. Pendahuluan
Ada dua kontroversi besar yang muncul pada akhir tahun 2009 berkaitan dengan penerapan syariat Islam di Aceh. Pertama pengesahan Qanun Jinayat dan Qanun Hukum Acara Jinayat oleh Dewan perwakilan Daerah Aceh (DPRA). Qanun ini menjadi kontroversi karena di dalamnya dimuat hukuan rajam bagi orang yang melakukan zina. Rajam meruppadasecara akan kata yang ditakuti oleh banyak orang dan dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Kontroversi kedua, keputusan Bupati Aceh Barat yang mengeluarkan aturan larangan menggunakan celana panjang perempuan di daerahnya. Celana panjang dianggap tidak mewakili pakaian yang menutup aurat islami. Bupati menganggap satu-satunya pakaian yang mewakili cara Islam adalah menggenakan rok panjang pada perempuan. Ketentuan ini juga memunculkan berbagai polemik di kalangan masyarakat dan pemerintahan. Berbeda dengan kasus yang pertama yang umumnya ditentang oleh organisasi sosial dan kelompok Islam liberal, keputusan Bupati Aceh Barat ini juga ditentang oleh sejumlah ulama Aceh sendiri, termasuk ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh.
Kedua kontroversi di atas bermula dari keistimewaan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada Aceh untuk melaksanakan syariat Islam melalui UU. No. 18 tahun 2001. Keistimewaan ini memungkinkan pemerintah Aceh mengeluarkan Peratutan Daerah (qanun) yang berisi implementasi hukum Islam sebagai hukum positif yang akan diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Pada level provinsi, sejauh ini pemerintah Aceh telah megeluarkan tujuh buah qanun yang berkaitan dengan implementasi syariat Islam. Qanun-qanun tersebut lebih banyak yang berhubungan dengan masalah privat individu dan hanya sedikit menyetuh masalah-masalah publik. Akibatnya banyak pihak yang menganggap pemberlakuan qanun Syariat Islam di Aceh cenderung mengatur hal-hal yang tidak terlalu signifikan. Hal ini diperparah lagi dengan kenyataan di mana kebanyakan menjadi tersangka dalam penerapan qanun tersebut adalah perempuan dan orang sipil yang tidak memiliki akses politik dan kekuasaan.
Kalau ditinjau dari sisi Aceh sebagai bagian dari kehidupan manusia yang lebih luas di permukaan bumi, tentu saja apa yang terjadi di Aceh juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kepentingan kehidupan global. Oleh sebab itu, semua aturan yang ada di Aceh saat ini mendapatkan respon dari berbagai lembaga kemanusiaan dunia. Qanun dan aturan yang dikeluarkan menyangkut pakaian, hubungan laki-laki dan perempuan, perjudian dan lainnya yang ada di Aceh juga tidak terlepas dari tanggapan dari pihak luar Aceh yang mengatasnamakan kehidupan yang egaliter dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) harus ditegakkan di semua lini. Kelompok ini terdiri dari aktifis HAM, gender dan feminist, kelompok pemikir Islam liberal dan berbagai kelompok lainnya.
Dengan gambaran ringkas mengenai syariat Islam di Aceh sebagaimana tersebut di atas, artikel ini akan menjawab sebuah pertanyaan utama, apakah Syariat Islam sebagaimana yang diterapkan di Aceh tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip kehidupan universal? Pertanyan ini akan dijawab dengan melihat tiga masalah yang lebih kecil; Pertama, bagaimana sejarah penerapan syariat Islam di Aceh? Kedua, bagaimana polemik antara kelompok yang pro Syariat Islam dan yang kontra dalam memandang berbagai Qanun Syariat Islam? Ketiga, bagaimana respon masyarakat internasional terhadap berbagai aksi penerapan syariat Islam di Aceh? keempat, solusi apa yang mungkin dapat menjembatani kedua kelompok untuk kehidupan masyarakat Aceh yang lebih baik dalam koridor pelaksanaan syariat Islam dengan tetap menjaga hubungan sosial yang lebih luas? Keempat pertanyaan ini akan menjadi topik pembahasan utama dalam artikel ini.
Jawaban atas pertanyaan di atas diperlukan untuk mendapatkan sebuah penjelasan alternatif yang dapat menjembatani dua cara pandang yang mempertentangkan penerapan Syariat Islam dalam masyarakat muslim. Penjelasan alternatif yang saya maksudkan adalah aspek-aspek yang masih dapat didialogkan sehingga kedua kelompok yang mempertentangkan ini memiliki dasar pandang yang sama dalam melihat realitas penerapan Syariat Islam di Aceh. Dalam artikel ini saya berargumen bahwa pola penerapan syariat Islam di Aceh saat ini belum sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat kosmopolit. Bahkan ada kecenderungan munculnya praktek Islam fundamentalis yang dapat dianggap sebagai bagian dari jaringan terorisme Internasional. Diperlukan sebuah usaha untuk membuka ruang dialog antara kedua kelompok sebagaimana tersebut di atas. Ruang dialog antara kedua kelompok ini mungkin dipertemukan jika Islam dilihat secara integratif dengan menempatkannya sebagai bagian yang tidak dipisahkan dengan prinsip-prinsip kehidupan yang universal. Dalam tataran ini maka perlu kembali melihat dimensi tasawuf Islam yang jauh dapat diterima lebih luas oleh berbagai kalangan diabndingkan dengan dimensi fiqh (hukum) Islam yang banyak diasosiasikan sebagai “Islam” selama ini. Sebab dimensi tasawuf memungkinkan penerapan Islam dalam masyarakat melalui penyadaran yang akan mengubah perilaku, cara pandang dan cara mengambil keputusan sehingga terwujud apa yang kita sebuat sebagai Islam yang rahmatan lil „alamin.
Untuk kepentingan pembahasan di atas, maka tulisan ini akan saya mulai dengan mereview kembali secara singkat sejarah penerapan syariat Islam di Aceh. Bagian kedua akan saya jelaskan perkembangan formalisasi syariat Islam di Aceh sampai tahun 2010 disertai dengan kelompok pendukungnya. Bagian ketiga artikel ini akan menjelaskan tanggapan, bantahan dan tawaran berbagai kelompok yang tidak sepakat dengan kebijakan syariat Islam di Aceh dan tanggapan masyarakat Internasional. Lalu saya akan mejelaskan beberapa ruang dialog yang mungkin dilakukan untuk menjadikan pemberlakukan syariat Islam di Aceh di masa depan menjadi lebih baik. Artikel ini akan saya akhiri dengan sebuah kesimpulan di mana argumen pokok akan saya tegaskan kembali berdasarkan data-data yang saya paparkan dalam penjelasan sebelumnya.
B. Syariat Islam di Aceh: Perspektif Historis
Dalam sebuah hadih maja (peribahasa) terkenal di Aceh disebutkan, Islam dan adat di Aceh bagaikan zat dengan sifat (agama ngen adat lagee zat ngen sifet). Ungkapan ini ingin menunjukkan ketakterpisahan antara Islam dan adat yang berlaku dalam masyarakat Aceh. Dalam sejarah Aceh, Islam tercatat sebagai agama satu-satunya yang diakui oleh kerajaan. Bahkan Islam terintegrasi dalam kehidupan pemerintahan kerajaan Aceh dalam abad XVII. Amirul Hadi, menyebut integrasi ini sebagai “politico-religious unity” yang berarti adanya perpaduan Islam sebagai budaya dan politik dalam menegakkan komunitas Islam (ummah). Dalam posisi inilah Islam menjadi perekat yang menyatukan berbagai bangsa penganut Islam dalam politik dan perdagangan di Aceh.
Syariat Islam di Aceh berkembang seiring dengan perkembangan Islam itu sendiri. Pada masa awal perkembangannya Syariat Islam di Aceh didominasi oleh berbagai mazhab yang baru muncul di Timur Tengah dan berkembang ke seluruh daerah yang telah memeluk agama Islam. Oleh sebab itu, pada akir abad pertama Hijriah di Aceh juga berkembang mazhab Syi’ah. Dalam pandangan Ali Hasjmy, dua mazhab Islam utama, Syiah dan Ahlussunnah, saling merebut kekuasaan sepanjang kerajaan Aceh, sejak kerajaan Perlak sampai Kerajaan Aceh Darussalam. Meskipun tesis Hasjmy sulit dibuktikan secara historis, namun dalam beberapa literatur lain disebutkan bahwa Islam yang datang ke Aceh dan berkembang di Nusantara diwarnai oleh berbagai pemikiran Islam yang berkembang di Timur Tengah. Dalam konteks ini Abubakar Aceh meyakini, Islam yang pertama kali masuk ke Aceh adalah Islam Syiah. Namun dalam perkembangan selanjutnya Islam Ahlussunnah mendominasi mazhab dalam masyarakat Aceh. Akar-akar Syiah di Aceh saat ini masih dapat dilihat dalam wujud praktik adat dan kebudayaan yang ada di Aceh.
Perkembangan hukum Islam di Aceh tidak dapat dilepaskan dari peran sultan yang memerintah dan memegang kekuasan pada masa itu. Peran sultan yang absolut dan otoriter menyebabkan agama rakyat adalah agama sultan mereka. Para raja Aceh yang sejak berdirinya kerajaan sudah menjadi pemeluk agama Islam membuat Islam menjadi agama yang dianut oleh masyarakat Aceh. Dalam kerajaan Aceh Darussalam, peran keagamaan dipimpin oleh seorang ulama yang disebut Syaikhul Islam yang menjadi patron berbagai kebijakan pemerintahan berkaitan dengan agama. Syaikhul Islam Nuruddin Ar-Raniry (1637-1641) mengarang beberapa kitab yang menjadi pegangan para hakim di seluruh wilayah kekuasan Aceh dalam memutuskan perkara. Hal yang sama juga dilakukan pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin (1641-1675) dengan Syaikhul Islam Abdurrauf Syiah Kuala (1642-1693).
Kekuasaan yang tidak terbatas yang dimiliki Sultan dalam melaksanakan hukum Islam menyebabkan hukum Islam yang ada di Aceh berubah menjadi adat. Sebagai adat ia terkadang melangkah jauh melebihi hukum Islam itu sendiri bahkan cenderung menjadi “hukum Sultan”. Dalam konteks ini makan Sultan seolah memiliki hak yang tidak terbatas dalam melaksanakan hukum kepada orang yang bersalah, terutama orang yang tidak taat kepada sultan. Dalam Bustan al-Salatin Nuruddin ar-Raniry mengatakan: “…segala yang berbuat khianat akan segala raja-raja tak dapat tiada datang jua ke atas mereka itu murka Allah Ta‟ala fadhihat, hubaya-hubaya hal segala hamba Allah, jangan kamu berbuat khianat akan segala raja-raja, tak dapat tiada pekerjaan yang demikian itu dinyatakan Allah Ta‟ala juga kepadanya.”
Penghormatan yang terlalu besar kepada Sultan menyebabkan banyak hukuman terhadap kesalahan kecil menjadi sangat besar yang bahkan tidak diatur dalam Islam. Hal ini tidak lain disebabkan otoritas keagamaan yang diberikan kepada Syaikhul Islam tidak dapat menjangkau kekuasaan sultan. Yang terjadi adalah penjatuhan hukuman yang diberikan Sultan melebihi apa yang diatur oleh Islam dalam al-Qur’an dan Sunnah. Sebagai contoh hukuman terhadap penghinaan kepada sultan dan keluarganya. Dalam berbagai literatur Islam tidak ada disebutkan mengenai hukuman jenis ini, namun hal ini berlaku dalam kerajaan Aceh Darussalam dan dianggap sebagai kesalahan yang besar sehingga hukumannya juga besar. Demikian juga dengan teknik penghukuman, seperti diinjak oleh gajah, dipukul dengan alu, dilempar ke jurang, semuanya hanya dibuat dalam kontekes kerajaan Aceh dan tidak ada dasarnya sama sekali dalam Islam.
Pun demikian, aspek keagamaan yang berkembang pada masa itu tidak hanya hukum Islam berdimensi fiqh. Beberapa ulama besar yang masih dikenang saat ini justru karena kepakarannya dalam bidang tasawuf Islam. Sebelum kekuasan Aceh mencapai puncaknya pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1637) hidup seorang Sufi bernama Hamzah Fansuri (w. 1604). Di tangannya Islam dengan wajah tasawuf mulai berkembang dan menyebar ke seluruh Nusantara. Setelah ia wafat, ajarannya dilanjutkan oleh muridnya Syamsuddin as-Sumatrani (w. 1631), dengan beberapa perkembangan konsep. Kedua ulama sufi ini memiliki hubungan dengan kekuasaan, bahkan mereka berperan dalam hubungan diplomasi dengan utusan dari negara asing karena penguasaan ilmu politik dan penguasaan bahasa asing yang dimilikinya. Apakah ada relevansi antara mazhab keagamaan dengan kemajuan kerajaan dalam bidang ekonomi pada masa itu? Hal ini masih menjadi pertanyaan yang butuh sebuah kajian khusus. Namun melihat perkembangan Aceh yang kosmopolit dalam abad XVII mustahil rasanya tanpa intervensi pemikiran keagamaan. Apalagi tokoh-tokoh agama (sufi) memegang peranan penting dalam kerajaan Aceh Darussalam.
Melihat realitas tersebut di atas jelas kiranya Islam yang berkembang pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1637) dan beberapa penguasa sesudahnya diwarnai dengan Islam berperspektif tasawuf. Namun demikian dalam beberapa dekade akhir perkembangan kerajaan juga berkembang aspek fiqh. Pada masa pemerintahan Aceh berada di bawah kekuasaan sultan perempuan selama 49 tahun (1641-1699), Syaikhul Islam kerajaan, Abdurrauf As-Singkili menulis beberapa kitab yang membahasa masalah hukum Islam yang kemudian menjadi dasar bagi hakim di berbagai wilayajh kekuasaan kerajaan Aceh dalam memutuskan perkara agama.
C. Positifikasi Hukum Islam: Pendukung dan Penolak
Sebelum menjelaskan aspek positifikasi hukum Islam di Aceh modern, perlu disinggung sedikit “nasib” Islam pada masa penjajahan sampai kemerdekaan Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda di Aceh yang dimulai tahun 1873, pemikiran Islam yang sebelumnya berkembang pesat mulai melemah. Para ulama mulai terfokus dalam mengorganisir masyarakat dalam melawan penjajahan Belanda. Kondisi ini memadamkan pemikiran kritis dan filosofis dalam wacana keagamaan di Aceh. Para ulama dan masyarakat lebih mementingkan kajian-akajian yang sifatnya praktis dan memberikan semangat juang kepada masyarakat untuk berani mengambil resiko [kematian syahid] dalam membela agama dan negara. Hal ini berlangsung sampai masa penjajahan berakir dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Pasca kemerdekaan Indonesia keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di Aceh mulai muncul. Daud Bereueh (1899-1987) dapat kita masukkan sebagai aktor dibalik keinginan menerapkan syariat Islam di Aceh pada masa itu. Sebagai bagian dari negara kesatuan republik Indonesia, keinginan ini tidak dapat dilakukan serta-merta tanpa izin dan persetujuan dari pemerintahan Pusat di Jakarta. Ketika Izin yang diharapkan tidak kunjung diberikan Bereueh pada 1953 menyatakan bergabung dengan DI/TII di bawah pimpinan Karto Suwiryo di Jawa Barat untuk memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII) dan menyatakan memisahkan diri dari Indonesia. Ini merupakan cikal bakal pertama tuntutan penerapan Syariat Islam di Aceh. Meskipun secara politik pemerintah pusat dapat memadamkan usaha ini, namun dalam memori sosial masyarakat keinginan untuk menjadikan Islam sebagai bagian dari sistem pemerintahan tetap masaih ada.
Kesempatan emas usaha ini lahir pasca tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998. Dengan runtuhnya kekuasan absolut Soeharto, pemerintahan yang lebih demokratis mulai terbangun. Salah satu wujudnya adalah pemberian otonomi khusus kepada daerah-daerah di seluruh Indoensia. Untuk Aceh, pada tahun 1999 dikeluarkan UU No. 44 tahun 1999 mengenai keistimewaan Aceh. UU inilah yang menjadi dasar awal penerapan Syariat Islam di Aceh setelah terkubur puluhan tahun. Dalam undang-undang ini ditegaskan pelaksanaan Syariat Islam dalam kehidupan sosial masyarakat secara menyeluruh (kaffah) merupakan salah satu di antara empat keistimewaan Aceh yang lain.8 Ini berarti, keseluruhan dimensi kehidupan sosial kemasyarakatan di Aceh akan mendapatkan pengaturan dari hukum Syariat. Hukum syariat adalah hukum yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad, baik yang diambil dari pendapat dan penafsiran ulama Islam terdahulu, ulama Islam kontemporer atau hasil ijtihad (legal reasoning) ulama Aceh yang ada saat ini yang dilandasi pada konteks budaya dan masyarakat lokal Aceh.
Pada tahun 2001 ketika digulirkan Otonomi Daerah pada semua daerah di Indonesia, untuk Aceh dikeluarkan UU No. 18 Tahun 2001 tentang Status Otonomi Khusus untuk Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam UU ini keumuman yang terdapat pada UU sebelumnya lebih dipersempit, di antara dengan menetapkan peraturan daerah di Aceh yang disistilahkan dengan qanun, dan diakuinya Mahkamah Syar‟iyyah sebagai bagian dari sistem pengadilan di Indonesia. Undang-undang ini kemudian menjadi dasar lahirnya beberapa qanun pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Setelah keluarnya UU. No. 18 tahun 2001, pemerintah Aceh yang pada masa itu di bawah pimpinan Abdullah Puteh mendeklarasikan berlakunya Syariat Islam di Aceh. Deklarasi ini dilakukan di Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh sebagai simbol dukungan rakyat Aceh pada program tersebut.
Setelah keluar UU. No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, UU No. 18 Tahun 2001 tersebut di atas tidak berlaku lagi. UU ini menegaskan keniscayaan lahirnya perundang-undangan organik lain yang mengatur syari‟at Islam dalam tataran operasional di Aceh yang disebut dengan qanun. Qanun lahir melalui proses legislasi di DPRA selayaknya peraturan daerah yang lain. Qanun inilah yang kemudian menjadi hukum materil dan hukum formil syariat Islam di Aceh. Pada umunya, qanun berisi formalisasi hukum fiqh Islam yang memang sudah sejak lama. Tidak semua ketentuan yang ada dalam fiqh Islam dapat menjadi qanun Syariat Islam di Aceh, pemilihannya disesuaikan dengan konteks dan kepentingan Aceh dan hukum Nasional Indonesia. Demikian juga beberapa hukum yang ada dalam fiqh Islam disesuaikan dengan pekembangan masyarakat di Aceh.
Sampai saat ini, setidaknya sudah ada tujuh qanun yang lahir berkaitan langsung dengan penerapan syariat Islam di Aceh, yakni Qanun Nomor. 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syariat Islam; Qanun Nomor. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syariat Islam bidang aqidah, ibadah dan syi‟ar Islam; Qanun Nomor. 12 Tahun 2003 tentang minuman Khamar dan sejenisnya; Qanun Nomor. 13 Tahun 2003 tentang Maisir (perjudian); Qanun Nomor. 14 Tahun 2003 tentang khalwath (mesum); Qanun Nomor. 7 Tahun 2004 tentang pengelolaan zakat; Qanun Nomor. 11 Tahun 2004 tentang Tugas Fungsional Kepolisian Daerah Aceh. Selain dalam bentuk qanun ada juga peraturan gubernur, keputusan gubernur, peraturan bupati/walikota dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penerapan Syariat Islam. Semua qanun tentang Syariat Islam lahir dalam awal-awal pendeklarasiannya. Sementara pada pemerintahan periode 2004-2009 hampir tidak ada perbincangan qanun baru kecuali qanun Jinayat yang kemudian tidak jadi diberlakukan. Sementara pemerintahan Provinsi Aceh tahun 2009-sekarang belum ada perbincangan mengenai qanun-qanun baru yang terkait dengan penerapan Syariat Islam di Aceh.
1. Pendukung Syariat Islam
Dukungan terhadap pemberlakuan Syariat Islam ini didasari pada keinginan mengembalikan Islam pada kejayaan yang pernah dicapainya pada masa pemerintahan Iskandar Muda. Meskipun kebanyakan masyarakat tidak mengerti seperti apa Islam pada masa Iskandar Muda, mereka yakin kalau Islam pada masa itu adalah “Islam Kaffah” yang dapat memajukan berbagai dimensi kehidupan dalam masyarakat. Hal ini pula yang menjadi alasan kedua kenapa Syariat Islam dianggap harus diberlakukan. Hal ini berkaitan dengan posisi Islam sebagai agama yang telah mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Oleh sebab itu menerapkan Islam bukan hanya membuat aturan yang berkitan dengan hal-hal keagamaan saja, namun juga berkaitan dengan seluruh aturan yang ada dalam kehidupan manusia. Bahkan ada yang menganggap menjalankan Islam saja sudah cukup karena di dalamnya sudah ada semua sistem yang diperlukan untuk mengatur kehidupan dan membangun kehidupan manusia. Meskipun pandangan ini terlalu membuat simplikasi masalah, namun terus berkembang dalam masyarakat Islam di Aceh.
Sebagai sebuah kebijakan daerah, penerapan syariat Islam di Aceh mendapat dukungan dari Pemerintah Aceh sendiri. Pemerintah Aceh membuat sebuah perangkat SKPD (Dinas Syariat Islam) untuk secara khusus menangani pemberlakuan Syariat Islam.
Selain itu juga dibentuk sebuah polisi pengawal Syariat yang dikenal dengan Wailayatul Hisbah (Muhibbuththabary, 2010).10 Kelembagaan pemerintah ini merupakan pelaksana teknis pemberlakukan Syariat Islam di Aceh. Meskipun demikian dalam berbagai kesempatan perwakilan pemerintah selalu mengatakan bahwa penerapan syaraiat Islam bukanlah tugas dari Dinas Syariat Islam semata, namun sebagai seorang muslim, penerapan syariat Islam adalah bagian dari tugas personal kaum muslimin itu sendiri. Sementara pemerintah hanya berperan dalam perencana, penggerak dan memberikan fasilitas utama dalam merealisasikan apa yang dapat dilakukan unuk kelancaran pelaksanaan ajaran Islam.
Lembaga keagamaan lain yang sepenuhnya mendukung pemberlakuan Syariat Islam adalah kelembagaan ulama. Selain Majelis Permusyawarana Ulama (MPU) lembaga keulamaan seperti Inshafuddin, Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), Majelis Ulama Nanggroe Aceh (MUNA) dan berbagai kelembagaan ulama yang lain juga mendukung pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Dari lembaga pendidikan, dukungan diberikan sepenuhnya oleh kalangan dayah (pesantren), lembaga pengajian, dan organisasi keagamaan lain yang ada di Aceh. Beberapa tokoh intelektual kampus dari IAIN Ar-Raniry Banda Aceh juga menjadi aktor kunci dalam penerapan syarakat Islam di Aceh. Al-Yasa Abu Bakar, dosen Fakultas Syariah IAIN Banda Aceh menjadi pejabat pertama kepala Dinas Syariat Islam ketika pertama kali dibentuk. Selain itu ada juga Rusjdi Ali Muhammad, yang menjadi staf ahli Gubernur dalam hal Syariat Islam. Muslim Ibrahim, Dosen Fakultas Syariah menjadi ketua MPU Provinsi Aceh yang juga memegang peranan penting dalam “qanunisasi” hukum Islam di Aceh. Masih banyak dosen lain dari IAIN Ar-Raniry, baik secara kelembagaan dan personal terlibat aktif dalam penerapan syariat Islam di Aceh.
Melihat luasnya dukungan syariat Islam di Aceh ditambah dengan akar sejarah Islam yang kuat di daerah ini, maka banyak pihak yang meragukan kalau penerapan Syariat Islam adalah keinginan pemerintah Pusat. Syariat Islam dipandang sebagai keyakinan kolektif masyarakat Aceh dan keinginan mereka sendiri untuk diterapkan di Aceh. Hal seperti ini juga sering saya temukan dalam khutbah dan ceramah agama, di mana sang khatib dan muballigh mengatakan bahwa Islam dan Aceh adalah dua sisi mata uang dalam kepingan yang sama. Ia tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa diapandang secara terpisah. Inilah kenapa orang Aceh harus mendukung pemberlakuan Syariat Islam di daerahnya sendiri.
Wujud dukungan pemberlakuan syariat Islam di Aceh dilakukan dengan berbagai cara. Seperti penjelasan di atas lembaga pemerintah dan organisasi pemerintah memberikan dukungan dengan pekerjaan dan keterlibatan lembaganya dalam positifikasi hukum Islam di Aceh. Sementara lembaga keulamaan non pemerintah melakukan dukungan moral dan penjelasan kepada masyarakat mengenai syariat Islam. Penjelasan ini perlu di tengah adanya segolongan masyarakat yang dianggap selama ini tidak mengerti dengan ajaran Islam dan hukumnya sehingga jauh dari tuntunan ajaran Islam. Sementara kelompok santri dayah mendukunganya dengan memberikan argumen-argumen dan tindakan “pemaksaan” kepada orang yang tidak melaksanakan ajaran Islam. Dalam beberapa kali santri dayah pernah ditangkap aparat kepolisian karena dianggap menggunakan kekerasan dan kriminal dalam memaksanakan masyarakat menjalankan perintah agama.
2. Kelompok Kontra Formalisasi Syariat Islam
Dukungan yang besar terhadap pelaksanaan Syariat Islam di Aceh umumnya dilakukan dari orang yang secara langsung terlibat dalam organisasi Islam. Kelompok ini memang menjadi salah satu kelompok mayoritas kuat di Aceh karena mendominasi hampir semua elemen masyarakat. Sebagai daerah yang dihuni oleh mayoritas umat Islam, Aceh memang akrab dengan organisasi yang berbasis keagamaan baik yang berlebel organisasi sosial kemasyarakatan atau lembaga pendidikan. Namun demikian, ini bukan berarti tidak ada elemen sipil lain yang memiliki pemikiran dan pandangan yang berbeda terhadap Syariat Islam. Beberapa kalangan dari akademisi dan Lembaga Swadaya Masyarakat justru memiliki pandangan berbeda terhadap keberadaan Syariat Islam di Aceh. Kelompok ini saya masukkan sebagai kelompok yang kontra pada Syariat Islam.
Penolakan atas formalisasi Syariat Islam memang tidak dilakukan terang-terangan atas nama organisasi atau mewakili sebuah kelompok khusus. Hal ini nampaknya dilatari oleh kanyataan sosial keagamaan di Aceh di mana penolakan terhadap syariat Islam diposisikan sama dengan menolak Islam. Dalam konteks ini maka seorang yang melakukannya akan mendapatkan sanksi sosial baik berupa tuduhan telah keluar dari agama, atau telah menjadi seorang agen asing yang bertujuan menghancurkan Islam. Hal ini tentu saja tidak diinginkan oleh bayak orang ketika ia memikirkan kehididupan sosial dan karirnya yang lebih jauh. Bagaimanapun seseorang yang hidup dalam sebuah masyarakat memiliki hubungan dengan masyarakat di sekitarnya. Oleh sebab itu, penolakan syariat Islam di Aceh di lakukan dengan bahasa yang media budaya yang tidak secara langsung menampakkan kontroversi dan negasinya kepada Islam secara keseluruhan.
Dari beberapa kelompok yang menolak formalisasi syariat Islam di Aceh kita bisa bagi dalam dua bentuk penolakan. Kelompok pertama adalah mereka yang tidak sepakat dengan menjadikan Islam sebagai sebuah agama pemerintahan. Kelompok ini terdiri dari sebagian akademisi kampus dan beberapa LSM yang bergerak dalam isu perempuan dan Hak Asasi Manusia. Mereka menganggap penerapan syariat Islam seperti yang dilaksanakan di Aceh telah melangkahi undang-undang negara karena sebagai satu negara kesatuan, tidak ada perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain di Indonesia. Pengkhususan Aceh dengan penerapan syariat Islamnya adalah sebuah kesalahan yang dilakukan oleh pemerintah. Alasan lain adalah, penerapan Syariat Islam di Aceh adalah sebuah kebijakan Jakarta untuk menyelesaikan konflik di Aceh. Jadi pada dasarnya tidak ada Syariat Islam sebagai sebuah formulasi religius yang diberikan pemerintah kepada Aceh, yang ada hanyalah sebuah taktik untuk meredam masalah pemberontakan di Aceh.
Kelompok kedua adalah mereka yang menolak bentuk formalisasi seperti yang dilaksanakan saat ini. Dalam tataran kebijakan penerapan syariat Islam oleh negara mereka sepakat saja. Meskipun mengakui di sana ada sebuah proses politik, namun pemberian yang diberikan oleh pemerintah ini dipandang sebagai sebuah peluang bagi masyarakat Aceh untuk menegakkan nilai-nilai Islam. Namun demikian mereka tidak sepakat dengan apa yang terjadi saat ini, misalnya dengan qanun-qanun yang tidak logis dan hanya mengurus masalah privat masyarakat. Kelompok ini antara lain terdiri dari sebagian dari akademisi kampus dan aktivis ormas keagamaan di Aceh. Mereka menawarkan wacana-wacana alternatif untuk menjadikan Islam lebih baik, seperti Islam yang lebih menjamin kehidupan masyarakat yang egaliter dan berkeadilan. Satu hal yang selalu disampaikan kelompok ini adalah bagaimana melihat Islam bukan hanya dalam tataran hukum-hukum privat, namun juga dalam dimensi sosial yang lebih luas dan dimensi moralitas.
Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok kedua memiliki beberapa kelompok kerja sebagai sebuah wadah koordinasi memperjuangkan aspirasi mereka. Misalnya Acehnese Solidarity for Humanity (ASOH) dan Jaringan Masyarakat Sipil Peduli Syariat (JMSPS). ASOH adalah jaringan kerja beberapa LSM dan gerakan pemuda dan mahasiswa di Aceh Barat yang berusaha menentang kebijakan Bupati Aceh Barat yang mewajibkan perempuan menggunakan rok. Mereka menganggap apa yang dilakukan oleh Bupati tidak mewakili kepentingan Islam dan hanya sebagai bagian dari kepentingan politik semata. Islam yang benar sama sekali tidak ada kaitannya dengan pengwajiban pemakaian rok bagi perempuan. Sementara JMSPS adalah jaringan beberapa LSM di Banda Aceh yang juga konsen dalam mengkampanyekan Islam yang egaliter dan terbuka, yang memperhatian kepentingan yang berbeda yang melingkupi orang cacat, perempuan, anak-anak, kelompok dengan orientasi seksual yang berbeda, agama minoritas, dan lain sebagainya. Selama ini mereka menganggap Syariat Islam hanya mengurus masalah yang sangat privat dan tidak menyentuh persoalan-persoalan mendasar yang ada di Aceh. Dengan kondisi ini, maka Islam tidak dapat hadir sebagai solusi bagi berbagai masalah sosial yang ada di Aceh. Malah penegakan Syariat Islam justru menjadi masalah baru bagi kehidupan mereka.
Di antara tawaran yang diberikan kelompok ini adalah penafsiran Islam dalam ruang yang lebih luas. Islam tidak hanya dibatasi dalam qanun-qanun seperti yang ada selama ini, namun ia harus melingkupi berbagai pesoalan sosial yang lebih luas. Dalam hal ini sering dicontohkan, bagaimana Islam dapat mengatasi masalah penebangan hutan, korupsi di pemerintahan, kekerasan bersenjata, perampokan, pemiskinan dan kemiskinan, ketertinggalan dalam pendidikan, masalah kesehatan dan lain sebagainya. Menurut kelompok JMSPS ini semua adalah masalah paling mendasar di Aceh. Kalau memang Islam sebagai solusi, maka ia harus dapat ditunjukkan bagaimana Syariat Islam di Aceh bisa mengatasi masalah-masalah ini, bukan justru mengambil dimensi privat yang tidak signifikan untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat Aceh secara keseluruhan.
D. Respon Dunia Untuk Syariat Islam di Aceh
Di tengah kekhawatiran bahaya teorisme yang mengancam kedamaian hidup masyarakat dunia saat ini, frase “penerapan syariat Islam” menjadi hal yang mengkhawatirkan banyak pihak. Keterlibatan banyak kelompok Islam (setidaknya yang terekspose media) dalam praktik terorisme menyebabkan munculnya anggapan Islam adalah sebuah gerakan teroris atau setidaknya memiliki ajaran yang menganjurkan terorisme. Ajaran yang dimaksud adalah jihad, yakni usaha yang dilakukan untuk membela ajaran Islam sampai mati. Oleh sebab itu pemberlakuan syariat Islam dipandang sebagai usaha memperjuangkan syariat Islam yang pada ujungnya dapat melahirkan terorisme.
Pemberlakuan syariat Islam di Aceh tidak luput dari komentar dan perhatian masyarakat luas. Bukan hanya para ahli dari Indonesia, perhatian juga diberikan dari berbagai belahan dunia yang lain. Perhatian yang saya maksud di sini adalah komentar dan respon mereka terhadap pemberlakuan syarakat Islam dan beberapa kritikan yang diberikan. Kebanyakan tentu saja menganggap apa yang terjadi di Aceh adalah sebuah kebijakan yang bertentangan dengan nilai-nilai HAM dan Demokrasi yang dijunjung tinggi selama ini. Padahal semua bangsa di dunia sedang bergerak menuju sebuah perbaikan kehidupan yang menjunjung tinggi HAM dan Demokrasi untuk kehidupan bersama yang lebih baik. Oleh sebab itu, pemberlakuan Syariat Islam di Aceh yang mengedepankan aturan-aturan kasar seperti rajam dan cambuk adalah bagian dari kebangkitan ekstrimis muslim yang akan melanjutkan kekerasan berbentuk terorisme sebagaimana yang terjadi belakangan ini.
E. Kontroversi “Qanun Rajam”
Respon atas pemberlakuan syariat Islam di Aceh semakin keras setelah disahkannya Qanun Jinayat dan Qanun Hukum Acara Jinayat yang disahkan tanggal 14 September 2009 oleh legislatif Aceh priode 2004-2009. Pengesahan ini dilakukan tepat lima hari sebelum kekuasaan mereka di parlemen berakhir. Pengesahan ini berbuntut panjang disebabkan salah satu pasal di dalamnya mengatur masalah rajam. Rajam dianggap bertentangan dengan HAM dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Karenanya apa yang dilakukan oleh DPRA dianggap inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu UUD 45.
Kontroversi mengeai rajam ini muncul di berbagai media, baik di lokal Aceh maupun nasional. Bahkkan beberapa stasiun televisi di Indonesia juga menyiarkan secara langsung kontroversi ini dengan mewawancarai tokoh yang mereka anggap memiliki kompetensi untuk menjelaskannya. Akibat penyiaran yang dilakukan media maka respon besar-besaran-pun akirnya terjadi. Berbagai organisasi keagamaan, LSM dan lembaga sosial lainnya menyampaikan pendapat mereka tentang penerapan hukuman rajam ini. Inti dari pandangan mereka adalah Qanun Jinayat, di mana di dalamnya berisi hukum rajam adalah praktik yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia dan perundang-undangan yang lebih tinggi di Indonesia. Alasan lain adalah alasan kemanusiaan, di mana hukuman rajam dianggap bertentangan dengan ha hidup manusia serta penuh dengan kekerasan yang dianggap tidak beradab. Oleh sebab itu apa yang dilakukan di Aceh ini tidak dapat diterima dan pemerintah harus bertindak untuk membatalkannya. Demikian pula pemerintah Aceh harus kembali meninjau apa yang telah mereka lakukan.
Selain karena bertentangan dengan HAM, respon juga diberikan karena proses legislasi hukum yang dianggap cacat dan inkonstitusional. Beberapa penulis dan lembaga sosial menganggap apa yang dilakukan oleh DPRA Aceh bertentangan dengan pasal 28 I UUD 1945 dimana dijelaskan setiap manusia Indonesia memiliki hak asasi yang tidak dapat diganggu, yang paling utama adalah hak hidup.18 Selain itu, masalah perzinahan sudah diatur dalam KUHP. Sebagai urutan tertinggi dalam landasan hukum di Indonesia, maka apa yang diatur di Aceh tidak boleh bertentangan dengan KUHP tersebut.
Lebih jauh, apa yang terjadi di Aceh dengan hukum rajam dipandang sebagai kelahiran Islam fundamentalis, yakni kelompok Islam yang menempatkan teks-teks agama seperti adanya tanpa interpretasi rasional yang mengaitkannya dengan perkembangan zaman. Hukum rajam merupakan ciri paling umum yang dilengketkan pada kaum fundamentalis Islam di berbagai negara. Kemunculan hukum rajam di Aceh dianggap sebagai cikal bakal lahirnya sebuah komunitas fundamentalis agama yang baru sehingga menimbulkan kekhawatiran pada banyak kelompok. Sebab bisa jadi apa yang dilakukan di Aceh dengan hukum rajamnya akan menjadi sebuah awal lahirnya rezim ala Taliban di Afganistan yang dicap sebagai rezim fundamentalis Islam. Dengan demikian, Aceh yang memang memiliki legitimasi negara untuk menjalankan syriat Islam akan tumbuh menjadi daerah Islam Fundamentalis.
Melihat berbagai aksi terorisme yang lahir di berbagai belahan dunia belakangan ini sering kali dilakukan oleh penganut agama dari aliran fundamentalis. Aliran ini menerjemahkan agama sebagaimana adanya yang ada dalam kitab suci yang mereka anut. Dalam kajian para ahli, fundamentalis bukan hanya lahir dari Islam dengan Al-Qur‟an sebagai dasar ajaran mereka, namun juga lahir dalam berbagai agama yang lain. Namun dari sisi ajaran dan keyakinannya sama saja yakni menganggap agama yang dianutnya sebagai satu-satunya ahama yang benar, sementara agama yang dianut oleh orang lain adalah sebuah kesalahan dan kesesatan. Sebagai orang yang beriman ia memiliki kewenangan untuk menunjukkan jalan kepada orang lain agar mereka selamat di dunia dan akhirat kelak. Usaha ini sering kali dilakukan dengan mengabaikan prinsip-prinsip kehidupan sosial yang lebih luas. Sehingga tidak jarang sebuah aksi yang diakukan oleh sekelompok fundamentalis berakibat pada kerugian yang besar yang juga berpengaruh pada diri, keluarga dan lebih luas negaranya sendiri. Beberapa serangan yang dilakukan oleh kelompok ini di pusat keramaian telah mebunuh banyak orang yang sama sekali tidak terlibat dan tidak mengetahui masalah yang sebenarnya.
Sebagai sebuah agama, Islam memiliki potensi untuk terjerumus pada praktek fundamentalisme sebagaimana tersebut di atas. Beberapa ayat dalam al-Qur’an jika tidak dipahami dengan benar dan menggunakan perspektif yang global akan dapat ditafsirkan sebagai sebuah justifikasi terhadap tindak kekerasan dan pelanggaran hak kehidupan manusia. Perintah untuk berjihad, membunuh orang kafir, Yahudi sebagai musuh abadi, dan lain sebagainya yang tertera dalam berbagai ayat dalam al-Qur’an dapat saja dipahami sebagia bagian dari suruhan Allah untuk melenyapkan segolongan orang lain di muka bumi kecuali Islam. Praktik semacam ini tentu saja betentangan dengan kebenaran Islam yang lebih luas dan universal. Islam yang memiliki landasan penting tentang kedamaian dan kehidupan bersama tentu saja sangat melarang umatnya melakukan kekerasan.
Apakah pelaksanaan Islam di Aceh yang dilakukan kini bisa membawa masyarakat Aceh kepada praktik fundamentalisme? Jawabanya bisa dua. Islam di Aceh yang dilaksanakan tanpa pertimbangan dan pandangan global akan menyebabkan munculnya semangat fundamentalis yang akan merugikan masyarakat Aceh sendiri. Hal ini mungkin saja terjadi di tengah keengganan sebagian masyarakat untuk mempelajari ilmu pengatahuan yang dianggap tidak memiliki dasarnya dalam Islam, seperti sosiologi, antropologi, hubungan internasional, politik global, teknik, kediokteran, astronomi dan lain sebagainya. Akibatnya umat Islam merasa ia hidup di lingkungannya sendiri yang tidak memiliki keterkaitan dengan bangsa dan dunia lain. Keyakinan ini melahirkan cara pandangan yang salah dalam memahami agama.
Kemungkinan kedua adalah, penerapan syariat Islam di Aceh bisa menjadi teladan untuk sistem hukum dan penerapan syariat Islam di berbagai daerah lain di dunia, jika keyakinan akan Islam diposisikan sebagai bagian dari sistem yang hidup yang sesuai untuk berbagai zaman dan masa, maka kajian dan pemahaman Islam juga harus disesuaikan dengan perspektif perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Hal ini penting untuk menempatkan dan memahami Islam bukan hanya sebagai bagian ajaran dan penghukuman, namun juga sebagia sistem nilai yang dapat mewarnai keseluruhan sistem yang ada dan berlaku dalam masyarakat.
F. Islam Aceh dan Visi masyarakat Global
Sebagai satu-satunya daerah yang menerapakan Syariat Islam di Indonesia, maka Aceh akan menjadi contoh kepada daerah lain tentang “kepantasan” Islam menjadi bagian yang mangatur sistem kehidupan sosial dan pemerintahan di daerah. Keberhasilan Aceh akan menjadi stimulus bagi daerah lain di Indonesia dalam merencanakan dan memprogramkan penerapan Syariat Islam di daerah mereka. Namun juga berlaku sebaliknya, jika Aceh gagal menunjukkan relevansi aspek sosialnya dengan kehidupan sosial masyarakat dan perkembanagn zaman, maka daerah lain di Indonesia juga akan belajar dari kegagalan Aceh tersebut dan menjadikannya alasan bahwa Islam bukanlah pilihan yang tepat untuk diterapkan dalam konteks masyarakat modern saat ini.
Oleh sebab itu diperlukan sebuah formula yang dapat menjadikan Islam yang diterapkan di Aceh ini mejadi sebuah model bagi daerah lain di Indonesia dan dunia Islam lainnya. Formula ini tidak lahir dengan sendirinya, namun diperlukan sebuah ijtihad yang dilatari oleh berbagai pemahaman keilmuan yang mendalam dan menyeluruh. Pemahaman ini akan diperoleh dengan sebuah pendekatan yang luas bukan hanya pada bidang ilmu keagamaan sebagaimana yang dipahami selama ini, namun juga pada ilmu “umum” yang nampak tidak memiliki relevansi dengan amalan hukum Islam padahal sesungguhnya berkaitan erat bahkan menentukan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Islam.
Al-Yasa Abubakar, Mantan Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh dalam ceramah pengukuhan Guru Besar di IAIN Banda Aceh menegaskan perlunya dilaksanakan pemahaman fiqh dalam konteks lokal Aceh. Ia mengakui bahwa apa yang telah dikembangkan oleh ulama klasik adalah ajaran yang sesuai untuk masa itu. Sedangkan pemahaman agama dan pengamalan Islam yang dilaksanakan saat ini merupakan pemahaman baru yang perlu disesuaikan dengan kondisi perkembangan masyarakat sekarang ini. Ia menawarkan empat prinsip dalam positifikasi hukum Islam dalam konteks Aceh; Pertama, ketentuan yang akan dituliskan bersumber pada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah; kedua, penafsiran dan pemahaman atas dasar al-Qur’an dan Sunnah harus dikaitkan dengan keadaan dan kebutuhan lokal (adat) masyarakat Aceh pada khususnya atau dunia Melayu pada umumnya serta aturan yang berlaku dalam wilayah Negara Indonesia. Ketiga, Penafsiran dilakukan dengan berorientasi pada masa sekarang dan masa depan guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang sedang membangun serta mampu menyahuti “semangat” zaman modern seperti tercermin dalam isu perlindungan HAM, kesetaraan gender dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi; Keempat perlu dipertimbangkan prinsip ushul “tetap memakai ketentuan lama yang masih baik serta berusaha mencari dan merumuskan ketentuan baru yang lebih baik dan lebih unggul”.
Prinsip di atas dimaksudkan untuk menjadikan Islam sebagai agama dipraktekkan dengan tidak melanggar kebajikan universal yang telah diyakini oleh manusia di berbagai negara di dunia. Hal ini bisa saja dilakukan mengingat apa yang ada dalam Islam juga sesungguhnya tidak bertentangan dengan HAM, gender, demokrasi dan lain sebagainya. Islam memiliki celah yang dapat dipakai untuk menarik sebuah prinsip yang dapat dibawa kepada pemahaman yang lebih luas dan egaliter serta menjamin adanya kebebasan dan kesetaraan antar manusia. Ruang ini perlu diperlebar dan digunakan dalam menyusun perundang-undangan untuk menghindari kesalahan dan kekeliruan yang dapat melahirkan perdebatan dan kontroversi sebagaimana terjadi belakangan ini.
Prinsip lain yang perlu diperhatikan adalah pemahaman bahwa Islam yang benar bukan Islam yang hanya diyakini. Yusni Saby mengatakan, Islam yang benar adalah Islam yang dipeluk. Islam yang dipeluk adalah Islam yang menebarkan cinta, kasih sayang, penghormatan kepada orang lain, semangat bekerja, menuntut ilmu dan lain sebagainya. Sementara Islam dalam tataran amalan adalah beragama hanya didasari pada keyakinan bahwa Islam adalah agama yang benar tanpa melihat korelasi dan relevansinya dalam kehidupan nyata dan hubungannya dengan kehidupan sosial yang lebih besar dan luas. Kalau yang terakhir ini yang terjadi, maka sesungguhnya ummat Islam telah hilang, yang ada adalah pengikutya, yakni orang-orang yang mengaku sebagai ummat Islam, namun ia tidak memahami dan melaksanakan Islam sebagaimana misi Islam diturunkan oleh Rasulullah saw.
G. Kesimpulan
Serangkaian pembahasan di atas berujung pada kesimpulan bahwa keimanan dengan keinginan menerapkan Syariat Islam semata belum cukup seandainya tidak memperhatikan berbagai aspek lain yang memiliki hubungan dan korelasi dengan pelaksanaan Syariat Islam tersebut. Aspek lain adalah keyakinan dan perkembangan pemikiran yang berkembang dalam masyarakat modern di mana penganutnya bukan hanya kalangan Islam namun juga masyarakat secara keseluruhan. Untuk menjaga kehidupan yang harmonis dan berjalan dengan baik dan tenang, maka apa saja yang dilakukan oleh sekelompok orang harus memperhatikan aspek keseluruhan yang lebih luas.
Dalam konteks penerapan syariat Islam di Aceh aspek di atas belum diperhatian dengan baik. Akibatnya berbagai kebijakan yang telah berkembang justru menimbulkan masalah dan menghangatkan kontroversi di kalangan masyarakat luas. Hal ini bukan hanya terjadi dalam masyarakat Aceh dan Indonesia namun juga masyarakat internasional. Kejadian ini tentu saja sedikit atau banyak akan mempengaruhi kehidupan masyarakat Aceh secara keseluruhan. Sebab setelah tsunami tahun 2004 keterlibatan bangsan asing di Aceh tidak dapat dielakkan. Dengan mengerdilkan diri dan mengasingkan diri dari pemahaman yang mendalam mengani kehidupan yang lebih luas, maka Aceh akan terisolir dan kembali pada sebuah daerah yang tertutup dan tidak membangun peradaban. Karenanya apa yang dilakukan dalam penerapan Syariat Islam harus sesui dengan konteks perkembangan masyarakat yang menuju pada masyarakat yang kosmopolit. Hanya dengan demikian Islam di Aceh akan benar-benar menjadi Islam sesungguhnya, bukan hanya sekedar Islam Mazhab Aceh.
0 komentar:
Posting Komentar