Kamis, 14 Maret 2013

Kerajaan Lamuri di Aceh Besar

"Save for Lamuri"
Oleh: Haekal Afifa

Dalam beberapa catatan sejarah, di ujung utara Pulau Sumatera dibuka sebuah kerajaan oleh rambongan suku bangsa Mon Khmer, dikepalai oleh Maharadja Indra Purba Sjahir Dauli. Yakni kerajaan Indra Purba yang dikenal dengan bandar Lamuri.

Kerajaan Indra Purba (Lamuri) saat itu mempunyai tiga daerah pertahanan yang sangat strategis posisinya pada masa itu, yakni: Pertama, Indra Puri; yang sekarang masuk dalam kawasan mukim XXII Aceh Besar, Indra Puri dikenal dengan bandarnya Peukan Lam Ili dan juga terdapat bekas kuil hindu hingga ketika Islam masuk ke Aceh kuil tersebut dijadikan sebagai masjid (Masjid Indrapuri sekarang). Kedua, Indra Patra; letaknya dipantai laut didaerah Ladong (Mukim XXVI) dan bandarnya dikenal dengan Krueng Raya. Bekas bentengnya kemudian dijadikan sebagai masjid (masjid Indra Patra) dan juga saat itu di Indra Patra terdapat pesenggarahan negara, yakni komplek perumahan yang dapat menampung seribu tamu negara sehingga komplek itu dikenal dengan Rumoh Siribee.

Ketiga, Indra Purwa; terletak dipantai laut Pasi Neudjid (Mukim VI/Peukan Bada sekarang) dan kawasan pertahanan Indra Purwa saat itu dinamai Indra Keusumba (sekarang dinamai Buket Seubeun, Nusa dan kawasan sekelilingnya). Bandar pertahanan Indra Purwa ketika itu bernama Lambaroo Neudjid, dan Indra Keusumba bagian barat dinamai Peukan Oelee-glee (dipersimpangan jalan Rima dan Peukan Bada sekarang). Daerah pertahanan Indra Purwa/Indra Keusumba masuk dalam mukim XXV sekarang. (Tawarich Radja-Radja Kerajaan Aceh, M. Junus Djamil, 1968)

 Aceh Lhee Sagoe
Dari tiga benteng pertahanan itulah ketika Kerajaan Aceh Darussalam terbentuk dikenal dengan sebutan Aceh Lhee Sagoe (Atjeh Tiga Sagi; Sagi XXVI Mukim, Sagi XXV Mukim, Sagi XXII Mukim) yakni daerah Aceh Besar sekarang. Bukan seperti pemahaman sebagian masyarakat Aceh saat ini yang menyangka bahwa Aceh Lhee Sagoe itu adalah Aceh secara keseluruhan.

Tiga sagi itulah kemudian dicatat dalam hasil riset Snouck Hurgronje dalam bukunya de Atjehers (1893) bahwa orang Aceh melambangkan bentuk Kerajaan Aceh Lhee Sagoe dengan Jeu’ee (alat penampi beras). Bagian ujung Jeu’ee yang menyempit dimaknai sebagai muara sungai (Krueng Aceh) yang berfungsi sebagai mulut tampah untuk mengumpulkan kotoran beras.

Pada tahun 414 H (1024 M) Kerajaan Indra Purba mendapat serangan dari kerajaan India Reandra Cola Mandala, sehingga Kerajaan Indra Purba kalah dan kesatuannya pun terpecah. Tiga daerah pertahanan Indra Purba masing-masing berdiri sendiri. Bahkan Kerajaan Indra Purwa yang sudah berdiri sendiri juga mendapat serangan dari kerajaan Seudu (Cantoli) yang dipimpin oleh seorang panglima wanita yang bernama Puteri Nian Nio Liang Khi (putri Raja Seudu dynasti Liang Khi- terkenal dengan Putro Neng).

Setelah dia menaklukkan Indra Purwa maka serangan ditujukan kepada Kerajaan Indra Purba (Lamuri) yang ketika itu diperintah oleh Maharaja Indra Sakti. Ketika Putroe Neng menyerang Lamuri dia mendirikan benteng penyerangan di daerah yang disebut Lingke sekarang (berasal dari kata Liang Khi).

Saat ini, Kerajaan Lamuri (Indra Purba) hanya menjadi bagian dari sejarah Kerajaan Aceh yang menjadi simbol kegemilangan, Kerajaan Lamuri yang umurnya lebih tua dari peradaban Kerajaan Sriwijaya Palembang tersebut masih bisa kita saksikan artefak dan peninggalan sejarahnya.

Artefak sejarah
Artefak sejarah itu tidak dimasukkan dalam warisan sejarah yang harus dilindungi, bahkan ada artefaknya yang sudah tidak jelas riwayatnya kemana. Apabila kita perhatikan peta Aceh Besar (kaart van groot Atjeh), kita dapat melihat bahwa posisi Indra Purwa dan artefaknya telah terbenam di laut antara pantai Lambaro di Ujong Pancu dan Pulau Angkasa di kawasan Sagi XXV (Mc Kinnon, 2004).

Ironis, ketika kita mengaku sebagai bangsa yang berperadaban dan menjunjung tinggi nilai sejarah sebagai sebuah identitas dan asal usul dari sebuah bangsa, justru kita sendiri yang merusak dan membiarkannya hilang ditelan masa. Tanpa ada upaya yang signifikan merawat dan menjaga untuk dijadikan warisan kepada anak-cucu kita, agar mereka kelak tidak kehilangan identitasnya.

Memang, setelah tsunami menerjang Aceh banyak benda-benda sejarah menjadi korban. Akan tetapi sangat tidak masuk akal ketika dalam proses rekonstruksi pascatsunami, situs sejarah seperti makam-makam digusur karena termasuk dalam planning project pembangunan, seperti salah satu temuan komunitas Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) di kawasan Lambhuk, yang salah satu makam di daerah tersebut harus dikikis oleh program pembangunan drainase kota.

Yang lebih menyakitkan, seperti yang diberitakan oleh berbagai media (19/5/12) bahwa kawasan Kerajaan Lamuri (Indra Purba) di Lamreh, Krueng Raya Aceh Besar, konon kabarnya telah dijual kepada salah satu investor Cina dengan harga Rp 17.000 per meter persegi, untuk kepentingan pembangunan Lapangan Golf bahkan pemerintah sudah memberikan izin kepada pengusaha tersebut (Serambi, 20/5/12). Padahal dalam kawasan tersebut masih tersimpan barang-barang sejarah, artefak dan makam para ulama Aceh (salah satunya makam Syeikh Shadru Islam Maulana Ismail) dan makam raja-raja Lamuri seperti Sultan Malik Muhammad Syah yang wafat pada 1444 Masehi.

 Dinasti ‘Liang Khi’
Menjadi tanda tanya besar, mengapa investor Cina dimaksud sangat berobsesi untuk membeli lahan tersebut? Jika alasan yang dikemukan hanya untuk membangun Lapangan Golf sangat tidak rasional dengan kondisi psikososial masyarakat di Lamreh yang tidak hobi, bahkan mungkin tidak tertarik bermain golf.

Akan tetapi, jika dilihat dari historisnya, bahwa Lamuri pernah dijajah oleh Kerajaan Seudu dari dinasti Liang Khi Cina, besar asumsi bahwa investor Cina tersebut tetarik dengan kandungan sejarah yang ada dalam kawasan Lamuri yang sangat bernilai bagi peradaban Cina.

Sungguh jika ini terjadi, mungkin kita termasuk bangsa yang tidak bisa berterimakasih kepada sejarah dan masa lalu? Ataupun mungkin sebagian dari Pemerintah kita salah dalam menafsirkan hadih maja Aceh; “Meunjoe ka pakat, lampoh djrat tapeugala?” sehingga Pemerintah telah bersepakat untuk menjualnya?

Atau mungkin sengaja dilakukan demi kepentingan “harta karun” yang masih terpendam dalam bumi Lamuri? Yang jelas, seperti kata Van Switen; Sebuah bangsa tidak akan mati karena menginsafi kesalahan yang pernah dibuatnya. Tetapi suatu bangsa akan mati jika mengulangi kembali kesilapan yang pernah dibuatnya.

Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi? Save For Lamuri!

0 komentar:

Posting Komentar