"Bom Bunuh Diri dalam Perspektif Syar'i"
Oleh: Prof. Dr. Fazzan, MA
Mencuatnya aksi-aksi peledakan ala kamikaze Jepang, dimana pelaku meledakkan dirinya sendiri dengan bom yang terjadi, menjadi wacana yang menarik untuk dikaji. Beberapa pandangan muncul; ada yang mengatakan aksi meledakan diri dengan bom sama dengan mati konyol,sia-sia, dll. Bagaimana Islam menjelaskan fenomena tersebut secara detail dan jelas.
Pertama-tama, secara literal harus dibedakan antara intihâr (bunuh diri) dan istisyhâd (keinginan mati syahid). Istisyhâd, sebagaimana lazimnya syahâdah (mati syahid)-dunia dan akhirat-terjadi manakala seorang mujahid mati di medan perang, atau meninggal dunia akibat luka-luka dari peperangan. Ini tentu berbeda dengan syahid akhirat, yang kepadanya berlaku hukum seperti orang mati biasa; dimandikan, dikafani, dishalati dan dimakamkan. Berbeda dengan syahid dunia atau syahid dunia-akhirat, yang tidak perlu dimandikan ataupun dikafani, cukup dishalati dan dimakamkan saja. Karena itu, istisyhâd (keinginan mati syahid) meniscayakan adanya medan perang secara langsung. Apalagi tidak semua peperangan identik dengan jihad.
Jihad menurut syariat Islam memang berperang, tetapi-sekali lagi-tidak semua peperangan identik dengan jihad. Misalnya, perang melawan bughat, dan perang saudara (qitâl al-fitnah), jelas bukan jihad.
Karena itu, masalah ini harus dipetakan berdasarkan sebab serta berbagai situasi dan kondisi yang menyertai kematian pelaku aksi tersebut:
Pertama, aksi istisyhâd yang dilakukan dengan cara menjemput kematian di medan perang, dengan duel langsung; berhadap-hadapan langsung dengan musuh, kemudian terbunuh, baik di tangan musuh maupun sesama mujahid-karena tidak tahu-maka aksi seperti ini masuk kategori istisyhâd yang dibenarkan.
Aksi seperti ini disepakati oleh para fuqaha sebagai bentuk syahid yang dibenarkan. al-Qurthubi menyatakan, Muhammad al-Hasan berkata, “Kalaupun ada seorang (mujahid) berperang menghadapi 1000 musuh kaum musyrik, sementara dia seorang diri, itu tidak masalah jika memang dia berambisi untuk meraih kemenangan atau menjadi tekanan bagi pihak musuh.”
Beliau melanjutkan, “Jika aksi itu ada manfaatnya bagi kaum Muslim, lalu dirinya binasa demi kemuliaan agama Allah, serta menjatuhkan mental kaum kafir, maka hal itu merupakan kedudukan yang mulia.” Berkaitan dengan paparan di atas, ada kisah kepahlawanan Anas bin Nadhar dalam peristiwa Perang Uhud. Saat itu Anas terjun di medan perang di tengah-tengah situasi kekalahan yang menyedihkan, terutama saat mendengar kabar, seolah-olah Rasulullah telah wafat. Kala itu, jasadnya penuh dengan luka hingga tidak seorang pun yang bisa mengenalinya, kecuali sudara perempuannya. Kepahlawanan beliau ini diukir dalam al-Qur’an:
“Di antara orang-orang Mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah. Lalu di antara mereka ada yang gugur dan ada (pula) di antara mereka yang menunggu-nunggu.” (Qs. al-Ahzab [33]: 23).
Kedua, aksi istisyhâd yang dilakukan dengan meledakkan diri sendiri, baik dengan menggunakan rompi bom ataupun bom mobil yang ditujukan untuk menyerang musuh (kaum kafir) yang tengah menduduki negeri kaum Muslim. Ini pun dengan catatan, jika aksi tersebut harus dilakukan untuk memerangi musuh. Sebab, kalau perang tersebut berhenti, musuh akan berhasil menguasai negeri kaum Muslim, dan kejahatan mereka sebagai pemenang perang akan semakin merajalela. Ini seperti yang terjadi di Palestina dan Irak, misalnya.
Aksi istisyhâd seperti ini dibenarkan, tetapi dengan catatan bahwa sasarannya tetap bukan kaum Muslim, atau tempat berkumpulnya kebanyakan orang Muslim seperti pasar, masjid dan sebagainya. Sebab, meninggalnya satu nyawa seorang Muslim masih lebih ringan bagi Allah ketimbang hilangnya seluruh dunia. Demikian sabda Nabi Saw.
Selain itu, menjadikan ahli dzimmah-Yahudi, Nasrani, atau orang musyrik-yang hidup dalam naungan Islam sebagai sasaran aksi tersebut juga tidak dibenarkan. Nabi Saw bersabda:
“Siapa saja yang menganiaya ahli dzimmah, maka sesungguhnya akulah yang akan menjadi penuntutnya.“
Ketiga, aksi meledakkan diri sendiri, melukai diri sendiri hingga mati, atau menembak diri sendiri yang semuanya dilakukan ketika berada dalam tawanan musuh, atau pasukan yang diklaim sebagai musuhnya. Tujuannya agar bisa melepaskan diri dari siksaan musuh, atau agar tidak tertawan musuh, atau melepaskan diri dari pedihnya penderitaan akibat luka peperangan. Aksi seperti ini disepakti oleh para fuqaha sebagai bentuk bunuh diri (intihâr), bukan istisyhad. Hukumnya pun haram, dan jelas-jelas dilarang. Hal ini bisa disimpulkan dari hadis Nabi Saw yang menyatakan:
“Pernah ada kasus menimpa orang sebelum kalian; ada seseorang yang terluka, lalu mengambil sebilah pisau, kemudian dia gunakan untuk melukai tubuhnya hingga darahnya pun tidak mau berhenti, sampai akhirnya dia pun mati. Allah berfirman: Hamba-Ku telah bergegas menemui-Ku karena ulahnya, maka Aku pun mengharamkan surga untuknya.” (HR .al-Bukhari).
Hadis ini dengan jelas mengharamkan aksi bunuh diri yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan tujuan untuk membebaskan diri dari penderitaan, sakit atau siksaan yang dialami; baik karena ditawan musuh ataupun sebab-sebab yang lain. Apalagi jika belum ditawan, misalnya saat terkepung dan hendak ditangkap, kemudian meledakkan diri, menembak diri sendiri, atau meminum obat tertentu hingga akhirnya mati. Jelas, aksi seperti ini lebih tidak boleh lagi, dan nyata diharamkan oleh Islam. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.
Dari paparan Hafidz Abdurrahman di atas, mudah-mudahan dapat mencerahkan pemikiran kita, sehingga kita dapat memetakan fenomena-fenomena yang terjadi. Apakah fenomena tersebut dibolehkan ataukah diharamkan.
0 komentar:
Posting Komentar