Minggu, 08 Mei 2011

"Sinyal Syar'i di Nanggroe Syariat"

"Sinyal Syar'i di Nanggroe Syariat"

Oleh Fazzan, MA 

Dari hiruk-pikuk kondisi Aceh di bulan Oktober 2009, ada gelombang sinyal yang bisa kita tangkap, menunjukkan bahwa syariat Islam di Aceh masih hidup. Kobaran semangat menerapkan syariat Islam secara kaffah di Aceh masih membara. Sinyal ini ada di beberapa aspek, salah satunya terlihat jelas dari kasus Qory Sandioriva.

Kepada sebagian pihak yang menyeru tinggalkan masalah Qory, dengan tujuan agar bisa memberi solusi bagi banyak masalah Aceh yang lebih besar, kita doakan, semoga upaya mereka dalam memberi solusi bagi Aceh itu dipermudah oleh Allah. Kita harus dukung setiap pihak yang memberi kontribusi positif untuk Aceh. Tentang Qory, jangan risau, alhamdulillâh banyak yang bergerak.

Kepada sebagian pihak yang mengangap masalah Qory kecil, itu benar. Karena bagi daerah syariat, memang seharusnya tidak perlu terjadi adanya izin keikutsertaan putri daerahnya di ajang Pemilihan Puteri Indonesia (PPI) yang bertentangan dengan syariat Islam. Bila sudah ada izin, tinggal cabut saja. Kecil. Tapi anehnya, mengapa masalah kecil seperti ini tidak segera diselesaikan oleh Pemda Aceh dengan memenuhi permintaan rakyat Aceh? Bukankah makin kecil masalah makin mudah memuhinya?

Tapi ironi, hingga kini surat izin untuk Qory mewakili Aceh No. 556/2323 itu masih belum dicabut, dan tuntutan masyarakat Aceh yang dianggap kecil itu belum dipenuhi secara proporsional oleh Pemda Aceh. Aneh, tapi nyata. Bisa jadi ini yang membuat demo menjamur di Aceh, untuk menepis efek negatif yang besar bagi syariat Islam di Aceh dari masalah yang kecil ini.

Sama, saya juga tidak berniat berbicara lebih banyak masalah Qory. Saya cuma ingin cerita sebuah kumpulan realita. Bahwa di sana ada fenomena yang patut orang Aceh syukuri. Di balik hiruk-pikuk penenolakan Qory, ada kabar gembira yang menyejukkan hati. Dari kasus Qory, ada getaran, sehingga kita bisa membaca sinyal kehidupan syariat Islam di Aceh. Sinyal yang menunjukkan bahwa syariat Islam di Aceh belum mati. Masih banyak yang memperjuangkannya untuk terus hidup dan bangkit. Walau ada pihak yang berupaya memadamkan cahaya syariat, tapi justru sinyal itu menunjukkan bahwa semangat membangun syariat Islam di Aceh masih menggebu, walau harus menerobos jalan berdebu.

Lihatlah getaran sinyal itu. Opini miring sebagian media bahwa pihak Aceh mendukung Qory, tenyata hanya suara yang sangat kecil yang tidak mewakili Aceh. Opini miring ini dengan sendirinya terbantah oleh gelombang penolakan, kecaman, dan demo yang berdebur bertalu-talu. Menghantam dan meluluhlantakkan logika konspirator yang ingin memudarkan wibawa syariat Islam di Aceh.

Lihatlah, 26 lembaga menolak dan mengecam izin Pempda Aceh atas keikutsertaan Qory: Di antaranya 21 organisasi perempuan di bawah naungan Gabungan Organsisasi Wanita (GOW) Aceh Timur, Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA), DPRA Aceh yang berjanji memanggil Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan pihak–pihak di Pemerintahan Aceh, DPRK Aceh Tengah yang menampung dengan baik aspirasi demo Koalisi Muslimah Aceh Tengah, Dinas Syariat Islam Kota Lhokseumawe dan Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Lhokseumawe. Ini baru yang bergerak dan diekspos media saja, belum lagi lainnya.

Selain penolakan dan kecaman, demo juga mengaung di seantero Seramoe Mekah, menembus jantung Timur Tengah dengan pernyataan sikapnya. Enam kali demo digelar silih berganti, dari 11 hingga 19 Oktober, yang dilakoni oleh 6 lembaga dan organisasi, mulai dari HMI, KAMMI, Mahasiswa Unimus Bireuen, Koalisi Muslimah Aceh Tengah, hingga Mahasiswa Peduli Aceh (MPA) yang merupakan gabungan mahasiswa Universitas Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry, yang melakukan demo dua kali. Hingga tanggal 25 Oktober, masih saja ada opini di media Aceh yang dengan bijak turut mendesak Pemda Aceh untuk memenuhi tuntutan rakyat Aceh secara proporsional.

Tidak mau ketinggalan dengan rakyat Aceh di Tanah Rencong, lebih dari 500 mahasiswa Aceh di Negeri Para Nabi pun beraksi. Mereka tergabung dalam Forum Mahasiswa Aceh Timur Tengah (FMATT), yang menyatakan sikap mendesak gubernur untuk mencabut izin dan tidak lagi memberi izin puteri Aceh untuk mengikuti ajang PPI yang bertentangan dengan syariat Islam itu. Tak tanggung-tanggung, dalam FMATT ini tergabung 4 negara, yaitu Keluarga Mahasiswa Aceh (KMA) Mesir, KMA Sudan, Mahasiswa Madinah, dan Mahasiswa Aceh di Yaman, di bawah naungan organisasi ASAS (Aceh Studen't ASosiation in Yemen). Semua ini kumpulan aspirasi yang sangat aneh ketika tidak ditanggapi dengan baik.

Alâ kulli hâl, rentetan peristiwa ini memberikan sinyal bahwa kehidupan syariat Islam di Aceh masih sangat kuat, walau memang banyak hal yang harus dibenahi. Sinyal itu menunjukkan bahwa sangat banyak rakyat Aceh yang memperjuangkan syariat Islam, walau Pemda menunjukkan sikap tidak peduli dengan beberapa pertimbangan materi, seperti pembangunan kepariwisataan dan mempromosikan Aceh secara nasional dan internasional (rakyataceh.com 17/10).

Sinyal yang menunjukkan bahwa ketika ada manusia yang berkonspirasi coba memadamkan syariat Allah, Allah juga berkonspirasi membela setiap mukmin yang memperjuangkan syariatnya. Sinyal yang menunjukkan, bahwa, konspirasi memudarkan wibawa syariat Islam di Aceh dengan kasus Qory telah GAGAL TOTAL, dan dari realita penolakan ini, orang Aceh bisa dengan lega mengatakan, "Rakyat Aceh tak pernah rela ada putrinya mengikuti ajang PPI, dan akan terus menentangnya. Walau sementara Qory mewakili Aceh, itu hanyalah ulah sebagian kecil pihak yang sama sekali tidak layak bagi orang Aceh." Karena rakyat Aceh masih merindu dan mendamba tegaknya syariat Allah secara kaffah di bumi Serambi Mekah. Wallâhul musta‘ân.

Akhirnya, terimakasih bagi setiap pihak yang berusaha menjaga semangat menerapkan syariat Islam secara kaffah di Aceh. Walau secara hasil, izin itu belum dicabut, namun secara amal, Allah telah melihatnya. "Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu (QS. Al-Taubah [9]: 105)." []

0 komentar:

Posting Komentar