Minggu, 08 Mei 2011

ISTIHSAN


Al-ISTIHSĀN

Oleh Prof. Dr. Fazzan, MA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui, sumber ajaran Islam yang pertama adalah al-Qur’ān. Al- Qur’ān itu merupakan wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw., tidak sekaligus tetapi dengan cara berangsur-angsur. Atas dasar wahyu inilah Nabi menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat Islam ketika itu. Namun ternyata tidak semua persoalan yang dijumpai masyarakat Islam ketika itu dapat diselesaikan dengan wahyu. Dalam keadaan seperti ini, Nabi menyelesaikannya dengan pemikiran dan pendapat beliau dan terkadang pula melalui musyawarah dengan para sahabat. Inilah yang kemudian dikenal dengan Sunnah Rasul. Memang al-Qur’ān hanya membuat prinsip-prinsip dasar dan tidak menjelaskan segala sesuatu secara rinci. Perinciannya, khusus masalah ibadat, diberikan oleh hadīth. Sedangkan dalam bidang muamalat, prinsip-prinsip dasar itu, yang belum dijelaskan oleh beliau diserahkan kepada umat untuk mengaturnya.
Masa-masa setelah Nabi wafat, kondisi seperti ini pun semakin rumit ketika kekuasaan Islam semakin bertambah luas. Dengan terpencarnya para ulama, akhirnya masing-masing ulama melakukan istinbāth hukum sendiri. Maka lahirlah bermacam-macam metode istinbāth seperti qiyas, istihsān, istishlāh, ‘urf, istishhāb, dan syar’ man qablanā. Dan metode-metode istinbāth hukum itu selanjutnya menjadi objek kajian Ilmu Ushul Fikih.
Di antar berbagai metode istinbāth di atas, penulis beranggapan bahwa istihsān merupakan salah satu metode istinbāth hukum yang relevan dengan pembaharuan hukum Islam. Sebab istihsān memberikan kesempatan kepada mujtahid untuk berpaling dari suatu hukum kepada hukum yang lain karena ada pertimbangan khusus. Dengan demikian, penalaran hukum dengan metode istihsān sangat memperhatikan segi tujuan hukum yang hendak dicapai untuk kepentingan umat manusia. Namun apakah penalaran hukum dengan istihsān itu demikian longgarnya dalam arti tidak ada persyaratan-persyaratan tertentu dan apakah semua masalah bisa diselesaikan dengan istihsān ?. Dengan masih adanya kekaburan dan kesimpangsiuran pemahaman tentang istihsān, maka dirasakan sangat perlu untuk membahas bagaimana sesungguhnya istihsān itu.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul, latar belakang masalah dan segelumit permasalahan delematis yang telah penyusun paparkan di atas maka pertanyaan sebagai pokok permasalahan dalam tulisan ini dapat sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan istihsān ?
2. Bagaimana kehujjahan istihsān itu ?
3. Apa saja jenis serta contoh istihsān ?

C. Tujuan Penulisan
Penulisan tesis ini, dengan memperhatikan permasalahan dan rumusan di atas mengandung maksud dan tujuan sebagai berikut:
1. Ingin mengetahui apa sesungguhnya yang dimaksud dengan istihsān.
2. Ingin mengetahui lebih mendalam tentang kehujjahan istihsān.
3. Ingin menelaah dan memperoleh informasi yang akurat dan mendalam seputar jenis serta contoh istihsān.


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istihsān
Istihsān menurut bahasa berarti “menganggap baik.” Istihsān secara bahasa adalah kata bentukan (musytaq) dari al-Hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsān sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissī) ataupun maknawiah, meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain.” Secara istilah, istihsān dapat diartikan sebagai dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.
Istihsān terdapat dalam Ushul Fikih Maliki dan Hanafi, artinya mazhab Maliki dan Hanafilah yang melakukan istinbāth hukum dengan istihsān. Sedangkan dalam mazhab Hanbali, pembahasan mengenai istihsān tidak ditemui, memang mazhab ini tidak berbicara tentang istihsān. Mereka tidak melakukan istinbāth hukum dengan istihsān dan juga tidak menolak istihsān yang dilakukan oleh mazhab Maliki dan Hanafi. Namun al-Syafi’i ikut berbicara tentang istihsān, yaitu sebagai ulama yang sangat keras mengkritik istihsān tersebut. Oleh karena itu, dengan membahas istihsān dalam Ushul Fikih Maliki dan Hanafi serta pandangan dan kritikan al-Syafi’i, diharapkan, agar konsep istihsān dapat terungkap secara jelas.
1. Pengertian Istihsān Dalam Ushul Fikih Maliki
Al-Syatibi mengakui bahwa kaidah istihsān menurut Imam Malik berdasarkan kepada teori mengutamakan realisasi tujuan syari’at. Hal itu menunjukkan bahwa istihsān sebagaimana akan terlihat dari definisi yang diberikan oleh golongan Malikiyah, dasarnya adalah mengutamakan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan.
Agar lebih jelas tentang pengertian istihsān, maka berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi istihsān yang dikemukakan oleh para ulama Maliki. Menurut Ibn al-‘Arabi, istihsān adalah meninggalkan kehendak dalil dengan cara pengecualian atau memberikan rukhsat karena berbeda hukumnya dalam beberapa hal. Sedangkan dalam kitab Ahkām al-Qur’ān, Ibn ‘Arabi menulis, istihsān menurut kami (golongan Malikiyah) dan.menurut golongan Hanafiyah adalah beramal dengan salah satu dari dua dalil yang paling yang paling kuat, berpegang kepada dalil umum apabila dalil itu bisa terus berlaku dan berpegang kepada kias apabila kias itu berlaku umum. Malik dan Abu Hanifah, kata Ibn al-‘Arabi, berpendapat bahwa dalil umum bisa ditakhshīsh (dikhususkan) dengan dalil apapun baik dengan dalil lahir maupun dengan makna. Malik melakukan istihsān dengan cara mentakhshīshkan dalil umum dengan maslahat. Sedangkan Abu Hanifah melakukan istihsān dengan mentakhshīshkan dalil umum dengan pendapat salah seorang sahabat yang bertentangan dengan kias. Imam Malik dan Abu Hanifah sama-sama berpendapat boleh mentakhshīshkan dan menggugurkan ‘illat. Sedangkan menurut al-Syafi’i, ‘illat syara’ apabila sudah jelas tidak boleh ditakhshīshkan. Menurut Ibn Rusyd, istihsān berarti meninggalkan kias dalam menetapkan suatu hukum karena kias itu menimbulkan keadaan yang berlebihan dalam hukum. Pada beberapa masalah, penetapan hukum tidak dilakukan dengan kias, akan tetapi dialihkan daripadanya karena ada pengertian yang mempengaruhi dalam penetapan hukum yang mengkhususkan masalah tersebut.
2. Pengertian Istihsān Dalam Ushul Fikih Hanafi
Abu Hanifah banyak menetapakan hukum dengan istihsān tetapi tidak pernah menjelaskan bagaimana maksud daripada istihsān itu. Ketika menetapkan suatu hukum dengan cara istihsān, Abu Hanifah mengatakan “astahsin”, artinya saya menganggap baik. Penetapan hukum dengan istihsān itu diikuti pula oleh para sahabat dan pengikutnya. Sehingga dalam lintasan Sejarah Ushul Fikih, golongan Hanafiyah dikenal sebagai golongan yang memakai istihsān sebagai salah satu metode istinbāth hukum. Oleh karena itu, bisa kita pahami, pengertian istihsān dalam Ushul Fikih Hanafi dirumuskan oleh para pengikut dan murid Abu Hanifah dikemudian hari, setelah Abu Hanifah tiada. Hal ini barangkali disebabkan banyaknya kritikan yang diarahkan kepada mereka, karena berpegang kepada istihsān, bahkan ada yang mencela dan meragukan Abu Hanifah sebagai orang yang wara’. Setelah munculnya kritikan itu, maka para sahabat dan murid Abu Hanifah berusaha menjelaskan pengertian dan rumusan istihsān yang banyak dilakukan oleh Imam mereka. Mereka berusaha menjelaskan bahwa sesungguhnya istihsān itu tidak keluar dari dalil-dalil syara’.
Dengan begitu, sebagian ulama Hanafiyah menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan istihsān ialah kias yang wajib beramal dengannya, karena ‘illatnya didasarkan pada pengaruh hukumnya. ‘Illat yang mempunyai pengaruh hukum yang lemah mereka namakan dengan kias dan yang mempunyai pengaruh hukum yang kuat dinamakan dengan istihsān. Istihsān ini seolah-olah satu macam cara beramal dengan salah satu kias yang paling kuat dan ini disimpulkan dari penelitian induksi terhadap masalah-masalah yang ada dalam istihsān menurut ketentuan-ketentuan fikih mereka.
Ibnu al-‘Arabi mendefinisikan istihsān, yaitu beramal dengan dalil yang paling kuat di antara dua dalil. Menurut al-Karkhi, yang dimaksud dengan istihsān ialah berpaling seorang mujtahid dari suatu hukum pada suatu masalah dari yang sebandingnya kepada hukum yang lain, karena ada suatu pertimbangan yang lebih utama yang menghendaki perpalingan tersebut. Menurut Abu Zahrah, definisi istihsān menurut al-Karkhi ini merupakan definisi yang paling jelas menggambarkan hakikat istihsān golongan Hanafiyah. Karena definisi ini mencakup semua jenis istihsān dan menunjukkan kepada asas serta isinya, sebab asas istihsān itu adalah penetapan hukum yang berbeda dengan kaidah umum, karena ada sesuatu yang menjadikan keluar dari kaidah umum itu dapat menghasilkan ketentuan hukum yang lebih sesuai dengan kehendak syara’ daripada tetap berpegang kepada kaidah itu. Maka berpegang pada istihsān merupakan cara penetapan hukum yang lebih kuat dalam masalah tersebut daripada berpegang kepada kias, supaya kita tidak tenggelam dalam ketentuan kias yang pada satu kali menghasilkan ketentuan hukum yang kurang sesuai dengan jiwa dan maqāshid syarī’ah.
Sementara al-Sarakhsi, seorang ulama terkemuka, sebagaimana yang dikutip Iskandar Usman dari kitabnya al-Sarakhsi al-Mabsūth, mengatakan, istihsān pada hakikatnya adalah dua macam kias. Yang pertama, kias yang jelas (qiyās jalī) tetapi pengaruhnya dalam mencapai tujuan syari’at, lemah dan ia dinamakan dengan kias. Sedangkan yang kedua adalah kias yang tersembunyi (qiyās khafī) yang mempunyai pengaruh yang kuat. Inilah yang dinamakan istihsān. Pengaruh yang lebih kuat itulah yang menyebabkan istihsān lebih diutamakan daripada kias. Atau dengan perkataan lain, pengutamaan istihsān dari pada kias semata-mata didasarkan kepada pengaruh hukumnya, bukan didasarkan kepada khafī atau jalīnya (tersembunyi atau jelasnya) bentuk kias. Dengan berlandaskan pengertian itu dapatlah kita pahami pada dasarnya istihsān itu belum keluar dari empat sumber hukum yang disepakati oleh jumhur ulama.
Demikianlah di antara beberapa pengertian istihsān yang telah dirumuskan oleh para ulama golongan Hanafiyah. Paling tidak, dari beberapa pengertian itu dapat disimpulkan dua hal, yaitu:
a. Istihsān itu mengandung arti berpaling dari kaidah umum, berpaling dari keumuman nash atau ‘illat kias atau dasar istinbāth karena ada dalil syara’ yang menghendaki pemalingan itu.
b. Dalil ini kadang-kadang berupa kias khafī atau nash atau ijmak atau darurat. Apabila ada sebagian ulama yang membatasi istihsān atas kias khafī dalam berhadapan dengan kias dengan kias jalī, maka sebenarnya fukaha’ itu bermaksud menjelaskan satu macam istihsān. Artinya istihsān bukan hanya mengutamakan kias khafī atau kias jalī saja. Itu adalah salah satu bentuk istihsān. Selain itu masih ada bentuk-bentuk yang lain seperti berpaling dari hukum umum (kulli) kepada hukum pengecualian (istisnā’).
Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari istihsān adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Sebagai contoh misalnya, pendapat yang disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal (w. 264 H) bahwa tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar istihsān, padahal secara kias tayammum itu sama kedudukannya dengan berwudhu’ dengan menggunakan air yang tidak wajib dilakukan pada setiap waktu shalat, kecuali jika wudhu’nya batal. Dengan kata lain, tayammum secara qiyas seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar istihsān, Imam Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti.
3. Pengertian Istihsān Menurut Pemahaman al-Syafi’i
Istihsān dalam pemahaman Imam al-Syafi’i, sebagaimana ucapannya dalam al-Risālat, dapat kita simpulkan adalah pendapat yang tidak bersandar kepada keterangan (al-Khabar) dari salah satu dari empat dalil syara’, yaitu al-Qur’ān, Sunnah, Ijmak, dan Kias. Apabila seorang mujtahid memfatwakan suatu hukum dan hukum itu tidak diambil dari al-Khabar itu secara lafadz dan juga tidak diambil dari logikanya secara kias, serta tidak ada ijmak pada hukum tersebut, maka fatwa tersebut dinamakan istihsān karena tidak bersandarkan kepada al-Khabar baik secara langsung kepada nash maupun secara istinbāth. Fatwa ini hanya dianggap baik oleh mujtahid itu dengan akalnya dan dengan kecenderungan perasaannya, tanpa berdalih kepada suatu al-Khabar dan tanpa mempertanggungkan kepada al-Khabar itu. Menurut pendapat dan pemahaman al-Syafi’i, haram bagi seseorang berpendapat dengan istihsān, apabila istihsān itu bertentangan dengan al-Khabar. Dan al-Khabar, yang terdiri atas kitab dan sunnah, adalah sesuatu yang berharga yang diteliti maknanya oleh mujtahid untuk memperoleh pengertiannya yang benar.
Dengan demikian, setidaknya ada gambaran yang jelas, bahwa al-Syafi’i, menghubungkan (mengasosiasikan) istihsān dengan semua fatwa yang tidak disandarkan kepada al-Khabar, baik secara langsung kepada nash maupun dengan cara menghubungkan kepada nash dengan cara kias. Intinya, dalam pandangan al-Syafi’i, istihsān adalah pendapat yang tidak merujuk kepada al-Qur’ān atau Sunnah atau Ijmak atau Atsar atau Kias.

B. Kehujjahan Istihsān Lintas Ushul Fikih
Menyikapi penggunaan istihsān kemudian menjadi masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan dalam hal ini, terdapat dua pandangan besar yang berbeda dalam menyikapi sebagai salah satu bagian metode ijtihad. Berikut ini adalah penjelasan tentang kedua pendapat tersebut beserta dalilnya.
Pendapat pertama, istihsān dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat ini adalah firman Allah, al-Hadīth serta Ijmak, yaitu sebagai berikut:
•                
Artinya: “Dan ikutilah oleh kalian apa yang terbaik yang diturunkan kepada kalian dari Tuhan kalian.”
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa istihsān adalah hujjah.
                             
Artinya: “Dan orang-orang yang menjauhi thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira, sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba- hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal."

Ayat ini, menurut mereka, menegaskan pujian Allah bagi hamba-Nya yang memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah.
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik.” HR. Ahmad.
Hadīth ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan istihsān.
Selain berdasarkan nash, mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijmak dalam beberapa masalah yang dilandasi oleh istihsān, seperti bolehnya masuk ke dalam hammam tanpa ada penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya. Demikian pula dengan bolehnya jual-beli al-Salam (pesan barang bayar di muka), padahal barang yang dimaksudkan belum ada pada saat akad.
Pendapat kedua, istihsān tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah. Para pendukung pendapat ini melandaskan pendapatnya dengan dalil-dalil berikut:
1. Bahwa syariat Islam itu terdiri dari nash al-Qur’ān, al-Sunnah atau apa yang dilandaskan pada keduanya. Sementara istihsān bukan salah dari hal tersebut. Karena itu ia sama sekali tidak diperlukan dalam menetapkan sebuah hukum.
2. Firman Allah:
                              
Artinya: “Wahai kaum beriman, taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta ulil amri dari kalangan kalian. Dan jika kalian berselisih dalam satu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, demikian itu sebaik-baik dan sebagus-bagus tempat kembali.”

Ayat ini menunjukkan kewajiban merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya dalam menyelesaikan suatu masalah, sementara istihsān tidak termasuk dalam upaya merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, ia tidak dapat diterima.
3. Jika seorang mujtahid dibenarkan untuk menyimpulkan hukum dengan akalnya atas dasar istihsān dalam masalah yang tidak memiliki dalil, maka tentu hal yang sama boleh dilakukan oleh seorang awam yang boleh jadi lebih cerdas daripada sang mujtahid. Dan hal ini tidak dikatakan oleh siapapun, karena itu seorang mujtahid tidak dibenarkan melakukan istihsān dengan logikanya sendiri.
4. Ibn Hazm (w. 456 H) mengatakan: “Para sahabat telah berijmak untuk tidak menggunakan ra’yu, termasuk di dalamnya istihsān dan kias. Umar bin al-Khathāb mengatakan, ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah.......”
Demikianlah dua pendapat para ulama dalam menyikapi hujjiyah istihsān dalam Ushul Fikih Islam beserta beberapa dalil dan argumentasi mereka masing-masing. Lalu manakah yang paling kuat dari kedua pendapat tersebut.
Jika kita mencermati pandangan dan dalil pendapat yang pertama, kita akan menemukan bahwa pada saat mereka menetapkan istihsān sebagai salah satu sumber hukum, hal itu tidak serta merta berarti mereka membebaskan akal dan logika sang mujtahid untuk melakukannya tanpa batasan yang jelas. Setidaknya ada dua hal yang harus dipenuhi dalam proses istihsān, yaitu ketiadaan nash yang sharih dalam masalah dan adanya sandaran yang kuat atas istihsān tersebut.
Dan jika kita kembali mencermati pandangan dan argumentasi ulama yang menolak istihsān, kita dapat melihat bahwa yang mendorong mereka menolaknya adalah karena kehati-hatian dan kekhawatiran mereka jika seorang mujtahid terjebak dalam penolakan terhadap nash dan lebih memilih hasil olahan logikanya sendiri. Dan kekhawatiran ini telah terjawab dengan penjelasan sebelumnya, yaitu bahwa istihsān sendiri mempunyai batasan yang harus diikuti. Dengan kata lain, para pendukung pendapat kedua ini sebenarnya hanya menolak istihsān yang hanya dilandasi oleh logika semata, tanpa dikuatkan oleh dalil yang lebih kuat.
Karena itu, banyak ulama, termasuk di dalamnya dari kalangan Hanafiyah, memandang bahwa khilaf antara Jumhur Ulama dengan Syafi’iyah secara khusus dalam masalah ini hanyalah khilaf lafzhy (perbedaan yang bersifat redaksional belaka), dan bukan perbedaan pendapat yang substansial. Apalagi, sebagaimana juga akan dijelaskan kemudian, ternyata Imam al-Syafi’i (w. 204 H) sendiri ternyata menggunakan istihsān dalam beberapa ijtihadnya. Karena itu, al-Syaukany mengatakan:
“Jika (yang dimaksud dengan) istihsān adalah mengatakan sesuatu yang dianggap bagus dan disukai oleh seseorang tanpa landasan dalil, maka itu adalah sesuatu yang batil, dan tidak ada seorang (ulama) pun yang menyetujuinya. Namun jika yang dimaksud dengan istihsān adalah meninggalkan sebuah dalil menuju dalil lain yang lebih kuat, maka ini tidak ada seorang (ulama) pun yang mengingkarinya.

C. Imam al-Syafi’i dan Istihsān
Salah satu ungkapan Imam al-Syafi’i yang sangat masyhur seputar istihsān adalah من استحسن فقد شرع, yaitu “barang siapa yang melakukan istihsān, maka ia telah membuat syari’at (baru).” Maksudnya ia telah menetapkan dirinya sebagai penetap syariat selain Allah. Disamping penegasan ini, beliau juga memiliki ungkapan-ungkapan lain yang menunjukkan pengingkaran beliau terhadap istihsān. Akan tetapi, dalam beberapa kesempatan, Imam al-Syafi’i ternyata juga melakukan ijtihad dengan meninggalkan kias dan menggunakan istihsān. Berikut ini adalah beberapa contohnya:
1. Pandangan beliau seputar penetapan kadar mut’ah atau harta yang wajib diberikan sang suami kepada istri yang telah diceraikan, demi menolong, memuliakan dan menghilangkan rasa takutnya yang diakibatkan perceraian itu. Sebagian fuqahā’ mengatakan bahwa mut’ah semacam ini tidak memiliki batasan yang tetap dan dikembalikan pada ijtihad sang qadhi. Ulama lain membatasinya dengan sesuatu yang mencukupinya untuk mengerjakan shalat. Namun Imam al-Syafi’i beristihsān dan memberikan batasan 30 dirham bagi yang berpenghasilan sedang, seorang pembantu bagi yang kaya, dan sekedar penutup kepala bagi pria yang miskin. Beliau mengatakan, “Saya tidak mengetahui kadar tertentu (yang harus dipenuhi) dalam pemberian ‘mut’ah’, akan tetapi saya memandang lebih baik (istihsān) jika kadarnya 30 dirham, berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Ibnu Umar.”
2. Istihsān beliau dalam perpanjangan waktu syuf’ah selama 3 hari. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya ini hanyalah istihsān dari saya, dan bukan sesuatu yang bersifat mendasar.”
3. Istihsān beliau dalam peletakan jari telunjuk muadzin dalam lubang telinganya saat mengumandangkan adzan. Beliau mengatakan, “Bagus jika ia (muadzin) meletakkan kedua telunjuknya ke dalam lubang telinganya (saat adzan).”
Bila hal ini, pengingkaran dan penerapan Imam al-Syafi’i terhadap istihsān, dicermati dengan seksama, maka ini semakin menegaskan bahwa istihsān yang diingkari oleh al-Syafi’i adalah istihsān yang hanya berlandaskan hawa nafsu semata, dan tidak dilandasi oleh dalil syar’ī. Karena itu, sejauh penelusuran penulis, belum pernah menemukan riwayat dimana beliau, misalnya, mencela berbagai istihsān yang dilakukan oleh Imam Abu Hanifah.

D. Jenis-Jenis Istihsān Beserta Contohnya
Para ulama yang mendukung penggunaan istihsān sebagai salah satu sumber penetapan hukum membagi istihsān dalam beberapa bagian berdasarkan dua sudut pandang yang berbeda.
1. Berdasarkan Dalil Yang Melandasinya.
Dari sisi ini, istihsān terbagi menjadi empat jenis:
a. Istihsān dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan kias dalam suatu masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’ān atau al-Sunnah. Diantara contohnya adalah: hukum jual-beli al-Salam. Yaitu menjual sesuatu yang telah jelas sifatnya namun belum ada dzatnya saat akad, dengan harga yang dibayar dimuka. Model ini tentu saja berbeda dengan model jual-beli yang umum ditetapkan oleh syari’at, yaitu yang mempersyaratkan adanya barang pada saat akad terjadi. Hanya saja, model jual beli ini dibolehkan berdasarkan sebuah hadīth Nabi Saw. yang pada saat datang ke Madinah menemukan penduduknya melakukan hal ini pada buah untuk masa satu atau dua tahun. Maka beliau berkata: “Barang siapa yang melakukan (jual-beli) al-Salaf, maka hendaklah melakukannya dalam takaran dan timbangan yang jelas (dan) untuk jangka waktu yang jelas pula.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
b. Istihsān dengan Ijmak. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijmak, baik yang sharih maupun sukuti, terhadap sebuah hukum yang menyelisihi kias atau kaidah umum. Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam) tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara kias seharusnya hal ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air. Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini dibolehkan atas dasar istihsān pada ijmak yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang tidak mempersoalkan hal tersebut.
c. Istihsān dengan kedaruratan. Yaitu ketika seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan kias, demi memenuhi hajat yang darurat itu atau mencegah kemudharatan. Salah satu contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit untuk dihindari, seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal karena hal tersebut. Dan ini dilandaskan pada istihsān dengan kondisi darurat (sulitnya menghindari benda semacam itu), padahal secara kias seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan puasanya.
d. Istihsān dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi kias menuju hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku, baik ‘urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan. Salah satu contoh istihsān dengan ‘urf yang bersifat yang berupa perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu ternyata ia masuk ke dalam masjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar sumpahnya, meskipun Allah menyebut masjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firman-Nya:“Dalam rumah-rumah yang Allah izinkan untuk diangkat dan dikumandangkan Nama-Nya di dalamnya.” Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata “rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk masjid. Itulah sebabnya, orang yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam masjid. Adapun contoh istihsān dengan ‘urf yang berupa perbuatan adalah memberikan upah berupa pakaian dan makanan kepada wanita penyusu (murdhi’ah). Pada dasarnya, menetapkan upah yang telah tertentu dan jelas itu dibolehkan secara syara’. Sementara pemberian upah berupa pakaian dan makanan dapat dikategorikan sebagai upah yang tidak jelas batasannya (majhul). Dan kaidah yang umum menyatakan bahwa sesuatu yang majhul tidak sah untuk dijadikan sebagai upah. Akan tetapi Imam Abu Hanifah membolehkan hal itu atas dasar istihsān, karena sudah menjadi ‘urf untuk melebihkan upah untuk wanita penyusu sebagai wujud kasih-sayang pada anak yang disusui.

2. Berdasarkan Kuat dan Tidaknya Pengaruhnya
Ulama Hanafiyah secara khusus memberikan pembagian dari sudut pandang lain terkait dengan istihsān ini, yaitu dari sudut pandang kuat atau tidaknya kekuatan pengaruh istihsān tersebut terhadap kias. Berdasarkan sudut pandang ini, istihsān kemudian dibagi menjadi empat jenis: Kias memiliki kekuatan yang lemah dan istihsān yang kuat darinya, Kias lebih kuat pengaruhnya dan istihsān yang lemah pengaruhnya, Kias dan istihsān sama-sama memiliki kekuatan, dan Kias dan istihsān sama-sama memiliki pengaruh yang lemah.
Dari keempat jenis ini, jenis pertama dan kedua adalah yang paling masyhur. Salah satu contoh untuk yang pertama adalah penetapan kesucian liur hewan carnivora dari jenis burung. Dalam kasus ini, burung yang carnivora, karena biasa memakan bangkai, seharusnya dikiaskan kepada hewan buas lainnya seperti singa dan harimau dalam hal najisnya liur mereka. Akan tetapi ulama Hanafiyah beristihsān dan menyatakan bahwa liur jenis burung yang carnivora lebih dekat (secara kias khafī) dengan liur manusia, karena keduanya, manusia dan burung yang carnivora, tidak boleh dimakan. Dan liur manusia, sebagaimana terdapat dalam hadīth, adalah suci. Karena itu liur jenis burung yang carnivora juga suci. Di samping sebab lain yaitu karena burung ini memakan makanannya dengan menggunakan paruhnya, dan paruh itu adalah anggota badan yang suci dari najis. Kesimpulannya adalah bahwa dalam kasus ini istihsān lebih kuat pengaruhnya daripada kias.
Adapun untuk jenis yang kedua, contohnya adalah melakukan sujud tilawah dalam shalat. Secara kias seharusnya sujud tilawah dapat digantikan dengan ruku’ tilawah, karena baik sujud maupun ruku’ keduanya sama-sama sebagai wujud pengagungan terhadap Allah Ta’ālā. Akan tetapi berdasarkan istihsān, sujud tilawah adalah sama dengan sujud lainnya dalam shalat, yang merupakan rukun di dalamnya. Maka sebagaimana sujud lainnya dalam shalat tidak boleh diganti dengan ruku’, demikian pula dengan sujud tilawah. Namun dalam kasus ini, menurut Hanafiyah, pengamalan kias lebih kuat dibandingkan pengamalan istihsān.
Adapun jika keduanya, kias dan istihsān, sama kuat, maka kias-lah yang ditarjih atas istihsān karena ia lebih jelas. Sedangkan bila keduanya sama-sama lemah, maka pilihannya antara menggugurkan keduanya atau mengamalkan kias sebagaimana jenis sebelumnya.
Dengan melihat pembagian ini, nampak jelas bahwa istihsān tidak ‘dimenangkan’ atas kias kecuali dalam satu kondisi, yaitu ketika ia lebih kuat pengaruhnya daripada kias (sebagaimana jenis yang pertama). Dan satu hal yang juga patut dicatat di sini adalah bahwa seorang mujtahid tidak dibenarkan untuk menggunakan istihsān kecuali saat ia tidak menemukan nash, atau ia menemukan kias namun kias tersebut dianggap tidak dapat merealisasikan maslahat. Hal ini seperti yang disinggung oleh Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H) saat mengomentari kasus seseorang yang menemukan seekor kambing yang hampir binasa, lalu ia menyembelihnya agar ia tidak mati sia-sia, “Sesungguhnya secara kias ia harus mengeluarkan ganti (atas perbuatannya menyembelih kambing orang lain), namun berdasarkan istihsān ia tidak wajib membayar ganti, karena ia dibolehkan melakukan hal tersebut.” Lalu ia mengatakan,“Tapi ada ulama yang kolot yang masih saja menolak hal ini (istihsān dalam kasus ini) dengan alasan bahwa ini telah melakukan suatu tindakan terhadap milik orang lain. Padahal kalau saja ia memahami bahwa melakukan suatu tindakan terhadap milik orang lain itu diharamkan oleh Allah jika mengandung mudharat terhadapnya. Dan dalam kasus ini, justru tidak melakukan tindakan apa-apa (baca: menyembelihnya) justru akan menyebabkan mudharat.” Sedangkan apa bila kita melihat tulisannya Musthafa al-Syalabi, Ta’lil al-Ahkām, tidak jauh beda dengan apa yang telah diuraikan di atas, istihsān menurutnya adakala istihsān dengan nash, istihsān dengan ijmak, istihsān dengan darurat, istihsān dengan ‘urf, istihsān dengan kias khafī, istihsān karena kehati-hatian dari memelihara khilafiyah, istihsān, dan istihsān dengan maslahat.



BAB III
PENUTUP

Pengertian istihsān yang telah dirumuskan oleh para ulama, paling tidak, dari beberapa pengertian itu dapat disimpulkan bahwa, Istihsān itu mengandung arti berpaling dari kaidah umum, berpaling dari keumuman nash atau ‘illat kias atau dasar istinbāth karena ada dalil syara’ yang menghendaki pemalingan itu. Inti dari istihsān adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Istihsān juga dapat diartikan sebagai dalil yang terbetik dalam diri seorang mujtahid, namun tidak dapat diungkapkannya dengan kata-kata.
Istihsān dapat digunakan sebagai bagian dari ijtihad dan hujjah. Pendapat ini dipegangi oleh Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Dalil-dalil yang dijadikan pegangan pendapat ini adalah firman Allah, al-Hadīth serta Ijmak. Namun ada sebagian istihsān tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam berijtihad. Pendapat ini dipegangi oleh Syafi’iyah dan Zhahiriyah.
Para ulama yang mendukung penggunaan istihsān sebagai salah satu sumber penetapan hukum membagi istihsān dalam beberapa bagian berdasarkan dua sudut pandang yang berbeda. Berdasarkan dalil yang melandasinya, istihsān terbagi menjadi empat, yaitu Istihsān dengan nash, istihsān dengan Ijmak, istihsān dengan kedaruratan, dan istihsān dengan ‘urf atau konvensi yang umum berlaku.
Ulama Hanafiyah secara khusus memberikan pembagian dari sudut pandang lain terkait dengan istihsān ini, yaitu dari sudut pandang kuat atau tidaknya kekuatan pengaruh istihsān tersebut terhadap kias. Berdasarkan sudut pandang ini, istihsān kemudian dibagi menjadi empat jenis, yaitu Kias memiliki kekuatan yang lemah dan istihsān yang kuat darinya, Kias lebih kuat pengaruhnya dan istihsān yang lemah pengaruhnya, Kias dan istihsān sama-sama memiliki kekuatan, dan Kias dan istihsān sama-sama memiliki pengaruh yang lemah.
Demikianlah kesimpulan dari uraian yang berkaitan dengan istihsān, mudah-mudahan dapat memberikan kejelasan tentang kesimpangsiuran istihsān.


DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu al-Fadhl Muhammad, Lisan al-‘Arab, Beirut: Dār Shadir, 1410 H.

Abu Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazaly, al-Mustashfa Fi ‘Ilm al-Ushūl, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H.

Al-Syafi’i, al-Risālat, Tahqiq Mūhammad Sayid Kailani, Mesir: tp., 1969.

________, al-Umm, Beirut: Dār al-Fikr, tt.

Al-Syatibi, al-Muwāfaqāt Fi Ushūl al-Ahkam, tt.t., Dār al-Fikr, tt.

Ibn Hazm al-Zhahiry, al-Ihkam Fi Ushūl al-Ahkam, Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.

Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.

M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

M. Ikhsan, “Istihsān dan Kedudukannya Sebagai Metode Istinbāth Hukum Dalam Ushul Fikih”, Jakarta: Pps Universitas Indonesia, 2006.

Muhammad Abu Zahrah, Ushūl al-Fiqh, Bairut: Dār Fikr al-‘Arabi, 1958.

Musthafa al-Syalabi, Ta’lil al-Ahkām, Beirut: Dār al-Nazah al-‘Arabiyah, 249 H.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

0 komentar:

Posting Komentar